Dukacita Kedua

Dukacita Kedua

Melarikan Yesus ke Mesir

oleh: St. Alfonsus Maria de Liguori


Bagaikan
seekor rusa yang terluka oleh panah membawa rasa sakit itu bersamanya
kemanapun ia pergi, sebab ia membawa sertanya anak panah yang telah
melukainya, demikian juga Bunda Allah. Setelah nubuat memilukan Nabi
Simeon, seperti yang telah kita renungkan dalam dukacita pertama, Bunda
Maria senantiasa membawa dukacita sertanya oleh karena kenangan
terus-menerus akan sengsara Putranya. Hailgrino, menjelaskan baris bait
ini, “Rambut di kepalamu, berwarna ungu raja, rapi terjalin,” mengatakan
bahwa helai-helai rambut berwarna ungu ini adalah kenangan Bunda Maria
yang terus-menerus akan sengsara Yesus, di mana darah yang suatu hari
nanti memancar dari luka-luka-Nya senantiasa ada di depan matanya,
“Dalam benakmu, ya Maria, dan dalam segala pemikiranmu, bayang-bayang
darah sengsara Kristus senantiasa meliputimu dengan dukacita,
seolah-olah engkau sungguh melihat darah memancar dari luka-luka-Nya.”
Dengan demikian, Putranya sendiri merupakan anak panah di hati Maria;
semakin menawan Ia di hatinya, semakin amat dalamlah bayangan akan
kehilangan Dia oleh kematian yang keji menyengsarakan hatinya.
Sekarang
marilah kita merenungkan pedang dukacita kedua yang melukai Maria dalam
melarikan Bayi Yesus dari aniaya Herodes ke Mesir. Herodes, mendengar
bahwa Mesias yang dinanti-nantikan telah lahir, dalam kebodohannya,
ketakutan kalau-kalau Ia akan menggulingkannya dari kerajaan. St.
Fulgentius, mencela kebodohan Herodes dengan mengatakan, “Mengapakah
engkau gelisah, hai Herodes? Raja yang baru dilahirkan ini datang tidak
untuk menaklukan raja-raja dengan pedang, melainkan menaklukkan mereka
secara mengagumkan dengan wafat-Nya.” Herodes yang kafir, menanti kabar
dari para Majus di mana sang Raja dilahirkan agar ia dapat segera
mencabut nyawa-Nya. Sadar bahwa ia ditipu, Herodes memerintahkan agar
semua bayi yang didapati di wilayah Betlehem dan sekitarnya dibunuh.
Sementara itu, malaikat menampakkan diri dalam mimpi kepada St Yusuf, “Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibu-Nya, larilah ke Mesir.”
Menurut Gerson, St Yusuf segera, pada malam itu juga, menyampaikan
perintah ini kepada Maria; dengan membawa Bayi Yesus, mereka memulai
perjalanan mereka, seperti dengan jelas dicatat dalam Kitab Suci, “Maka Yusuf pun bangunlah, diambilnya Anak itu serta ibu-Nya malam itu juga, lalu menyingkir ke Mesir.” “Ya Tuhan,” demikian kata Beato Albertus Agung
atas nama Maria, “Haruskah Ia menyingkir dari manusia, Ia yang datang
untuk menyelamatkan manusia?” Maka tahulah Bunda yang berduka bahwa
nubuat Simeon mengenai Putranya sudah mulai digenapi, “Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan.” Menyadari bahwa segera sesudah kelahiran-Nya Ia dikejar-kejar untuk dibunuh, tulis St Yohanes Krisostomus, betapa isyarat pengungsian yang kejam atas dirinya dan Putranya itu telah mengakibatkan dukacita dalam
hatinya, “Pergi dari para sahabat kepada orang-orang asing, dari Bait
Allah ke kuil-kuil berhala. Adakah penderitaan yang lebih besar dari
penderitaan seorang bayi yang baru dilahirkan, yang masih menyusu pada
ibunya, dan ibundanya pula dalam keadaan miskin papa, dipaksa mengungsi
bersamanya?”
Siapa
pun dapat membayangkan bagaimana Bunda Maria menderita dalam perjalanan
ini. Jarak ke Mesir jauh. Sebagian besar penulis sepakat jaraknya
kira-kira 300 mil, suatu perjalanan mendaki selama tigapuluh hari.
Jalannya, menurut gambaran St Bonaventura, “tidak rata, tak lazim dan jarang dilewati.” Waktu itu musim dingin, jadi mereka harus berkelana dalam
salju, hujan dan angin, melewati jalan-jalan yang becek dan licin.
Maria seorang gadis muda belia berusia sekitar limabelas tahun yang
lemah lembut, yang tak terbiasa dengan perjalanan yang demikian. Tak ada
seorang pun menolong mereka. St Petrus Chrysologus mengatakan, “Yusuf
dan Maria tidak mempunyai baik pelayan laki-laki maupun perempuan;
mereka sendirilah sekaligus majikan dan pelayan.” Ya Tuhan, pastilah
sungguh menyentuh hati melihat Perawan yang lemah lembut, dengan Bayi
yang baru lahir dalam pelukannya, berkeliaran di padang dunia! “Tetapi
bagaimana,” tanya St Bonaventura, “mereka mendapatkan makanan? Di
manakah mereka beristirahat pada malam hari? Adakah tempat menginap bagi
mereka? Adakah yang mereka makan selain dari sepotong roti keras, entah
bekal yang dibawa St Yusuf atau yang diterimanya sebagai sedekah? Di
manakah gerangan mereka dapat tidur dalam perjalanan yang demikian
(teristimewa 200 mil padang pasir, di mana tidak ada baik rumah ataupun
penginapan), selain di atas pasir atau di bawah pohon di hutan, rentan
terhadap cuaca dan bahaya penyamun serta binatang buas, yang sangat
banyak terdapat di Mesir. Ah, andai saja ada yang berjumpa dengan tiga
pribadi terbesar di dunia ini, yang sudi memberi tumpangan kepada tiga
pengelana miskin yang malang.”
Di Mesir, menurut Brocard dan Jansenius, mereka tinggal di daerah yang disebut Maturea; meskipun St Anselmus berpendapat bahwa mereka tinggal di kota Heliopolis, atau di Memphis, yang sekarang disebut Kairo
kuno. Sekarang, marilah kita merenungkan kemiskinan sangat yang menurut
St Antonius, St Thomas, serta yang lainnya, pastilah mereka alami
selama tujuh tahun mereka di sana. Mereka adalah orang asing, tak
dikenal, tanpa penghasilan, uang, ataupun sanak saudara, semata-mata
bertahan hidup dari perjuangan mereka yang gigih. “Karena mereka
melarat,” kata St Basilus, “pastilah mereka
berjuang keras guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,” Landolph dari
Saxony lebih jauh menulis (dan biarlah hal ini menjadi penghiburan bagi
kaum miskin), bahwa “Maria tinggal di sana dalam kemiskinan yang sangat
hingga terkadang ia bahkan tak mempunyai sebongkah roti pun untuk
diberikan kepada Putranya, saat Ia memintanya karena lapar.”
Setelah Herodes mangkat, demikian St Matius mencatat,
malaikat menampakkan diri lagi kepada St Yusuf dalam mimpi dan
memintanya kembali ke Yudea. St Bonaventura menganggap kepulangan ini
menyebabkan penderitaan yang lebih besar bagi Santa Perawan mengingat
Yesus telah bertambah besar, usianya sekitar tujuh tahun, demikian
menurut orang kudus ini, di mana, “Ia terlalu besar untuk digendong,
tetapi belum cukup kuat untuk berjalan jauh sendiri tanpa pertolongan.”
Gambaran
akan Yesus dan Maria yang berkelana sebagai pengembara di dunia,
mengajarkan kepada kita agar kita pun selayaknya hidup sebagai
pengembara di dunia ini, lepas dari keterikatan terhadap barang-barang
yang ditawarkan dunia; kita akan segera meninggalkan dunia ini untuk
memasuki keabadian, “Yang kita punyai sekarang bukanlah kota abadi,
tetapi carilah kota abadi yang akan datang.” St Agustinus
menambahkan, “Kalian adalah pengembara; kalian singgah, dan kemudian
berlalu.” Hal ini juga mengajarkan kita untuk memeluk salib-salib kita,
sebab tanpa salib kita tak dapat hidup di dunia ini. Beata Veronica
da Binasco, seorang biarawati Agustinian, dibawa dalam roh untuk
menemani Bunda Maria dan Bayi Yesus dalam perjalanan mereka ke Mesir;
sesudahnya Bunda Allah mengatakan, “Puteriku, engkau telah melihat
betapa dengan susah payah kami mencapai negeri ini; sekarang ketahuilah
bahwa tak seorang pun menerima rahmat tanpa penderitaan.” Siapa pun yang
berharap untuk merasakan penderitaan hidupnya lebih ringan, hendaknya
menyertai Yesus dan Maria, “Ambillah Anak serta Ibu-Nya.”
Maka segala beban derita terasa ringan, dan bahkan manis serta
menyenangkan bagi dia, yang karena kasihnya menempatkan Putra dan Bunda
dalam hatinya. Maka, marilah kita mengasihi Mereka; marilah kita
menghibur Bunda Maria dengan menyambut dalam hati kita Putranya, yang
bahkan hingga kini masih terus-menerus dianiaya oleh manusia dengan
dosa-dosa mereka.
TELADAN
Santa Perawan suatu hari menampakkan diri kepada Beata Koleta, seorang biarawati Fransiskan, serta memperlihatkan kepadanya Bayi Yesus dalam sebuah buaian
dalam keadaan terkoyak-koyak, dan mengatakan, “Beginilah para pendosa
terus-menerus memperlakukan Putraku, memperbaharui kematian-Nya dan
mengoyak hatiku dengan dukacita. Puteriku, berdoalah bagi mereka agar
mereka bertobat.” Penampakan serupa dialami Venerabilis Joanna dari
Yesus dan Maria, seorang biarawati Fransiskan juga. Suatu hari ia sedang
merenungkan Bayi Yesus yang dianiaya Herodes ketika ia mendengar suara
amat ribut, seakan-akan prajurit-prajurit bersenjata sedang mengejar
seseorang; sekejap kemudian ia melihat di hadapannya seorang Anak yang
sungguh elok paras-Nya, yang berlari terengah-engah sambil berseru, “O
Joanna-Ku, tolonglah Aku, sembunyikanlah Aku! Aku Yesus dari Nazaret;
Aku melarikan diri dari para pendosa yang hendak membunuh-Ku dan
menganiaya-Ku seperti yang dilakukan Herodes. Sudikah engkau
menyelamatkan Aku?”
DOA
Ya
Bunda Maria, bahkan setelah Putramu wafat di tangan orang-orang yang
menyiksa-Nya hingga tewas, orang-orang yang tak tahu berterima kasih
ini belum juga berhenti menganiaya-Nya dengan dosa-dosa mereka dan
terus-menerus mendukakan engkau, ya Bunda yang berduka! Dan, ya Tuhan,
aku juga salah seorang dari mereka. Ah, Bundaku yang penuh kasih sayang,
perolehkan bagiku airmata guna menangisi sikap tak tahu terima kasihku.
Demi sengsara yang engkau derita selama perjalananmu ke Mesir,
tolonglah aku dalam perjalanan yang aku lalui sekarang ini menuju
keabadian; dengan demikian pada akhirnya aku akan dapat bersatu denganmu
dalam mengasihi Juruselamat-ku yang teraniaya dalam Kerajaan
Terberkati. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar