Dukacita Ketiga

Dukacita Ketiga

Hilangnya Yesus di Bait Allah

oleh: St. Alfonsus Maria de Liguori


Rasul St Yakobus mengatakan bahwa kesempurnaan dapat dicapai dengan ketekunan. “Dan
biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu
menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun.”
Kristus memberikan Santa Perawan Maria kepada kita sebagai teladan
kesempurnaan, oleh sebab itu perlulah ia ditempa derita agar dalam dia
kita dapat mengagumi ketekunannya yang gagah berani dan berusaha
meneladaninya. Dukacita yang kita renungkan sekarang ini adalah
penderitaan terdahsyat yang harus dialami Bunda Maria dalam hidupnya,
kehilangan Putranya di Bait Allah.
Ia,
yang terlahir buta, merasa menderita karena tak dapat melihat terang;
tetapi ia, yang dulu biasa menikmati terang dan sekarang tak lagi dapat
menikmatinya karena menjadi buta, merasa jauh lebih menderita. Demikian
juga halnya dengan jiwa-jiwa yang malang, yang dibutakan oleh
gemerlapnya dunia ini, hanya sedikit mengenal Tuhan, mereka menderita,
tetapi sedikit saja, saat tak dapat menemukan-Nya. Tetapi, sebaliknya,
ia yang diterangi oleh terang surgawi, telah menjadi layak karena kasih
untuk menikmati kehadiran mesra yang Maha Pengasih. Ya Tuhan, betapa
pahit dukacitanya apabila ia mendapati dirinya terpisah daripada-Mu!
Sekarang, mari kita lihat betapa pastilah Bunda Maria menderita karena
pedang dukacita ketiga yang menembus jiwanya, yaitu saat kehilangan
Yesus di Yerusalem selama tiga hari, ia terpisah dari kehadiran-Nya yang
amat mempesona, sementara ia biasa menikmatinya.
St
Lukas mencatat dalam bab dua Injilnya bahwa Bunda Maria dengan St
Yusuf, suaminya, dan Yesus, tiap-tiap tahun biasa pergi ke Bait Allah
pada hari raya Paskah. Pada waktu Putranya berusia duabelas tahun, Bunda
Maria pergi seperti biasanya, dan Yesus tanpa sepengetahuannya tinggal
di Yerusalem. Bunda Maria tidak langsung menyadari hal itu, ia
beranggapan bahwa Yesus ada bersama yang lainnya. Setibanya di Nazaret,
ia mencari Putranya, tetapi tidak mendapatkan-Nya. Segera ia kembali ke
Yerusalem untuk mencari-Nya, dan setelah tiga hari barulah ia
mendapatkan-Nya. Sekarang marilah kita merenungkan betapa gelisah Bunda
yang berduka ini selama tiga hari sementara ia mencari-cari Putranya.
Bersama pengantin dalam Kidung Agung ia bertanya tentang-Nya, “Apakah kamu melihat jantung hatiku?”
Tetapi, tak didapatkannya kabar berita tentang-Nya. Oh, sungguhlah
besar duka dalam hati Maria, dikuasai rasa letih, namun belum juga
menemukan Putranya terkasih, ia mengulang kata-kata Ruben mengenai
saudaranya, Yusuf, “Anak itu tidak ada lagi, ke manakah aku ini?”
“Yesus-ku tidak ada dan aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan
untuk menemukan-Nya; tetapi ke manakah aku hendak pergi tanpa jantung
hatiku?” Dengan airmata menetes tak henti, diulanginya kata-kata ini
bersama Daud sepanjang tiga hari itu, “Airmataku menjadi makananku siang dan malam, karena sepanjang hari orang berkata kepadaku: `Di mana Allahmu?'”
Sebab itu, Pelbart, bukan tanpa alasan mengatakan bahwa `pada
malam-malam itu Bunda yang berduka tidak dapat memejamkan mata;
terus-menerus ia meneteskan airmata, memohon dengan sangat kepada Tuhan
agar Ia menolongnya menemukan Putranya.” Seringkali, selama masa itu,
menurut St Bernardus, Bunda Maria memanggil
Putranya dengan menggunakan kata-kata pengantin dalam bait ini,
“Tunjukkanlah kepadaku, jantung hatiku, di mana engkau menggembalakan
domba, di manakah engkau pada petang hari, agar aku segera pergi
mencari.” Putraku, katakan di manakah Engkau berada, agar aku tak lagi
berkeliling mencari Engkau dengan sia-sia.
Sebagian
orang menegaskan, dan bukan tanpa alasan, bahwa dukacita ini bukan
hanya salah satu yang terbesar, melainkan yang paling dahsyat dan paling
menyakitkan dari yang lainnya. Sebab, pertama, Bunda Maria dalam
dukacitanya yang lain, ada bersama Yesus: ia berduka saat Nabi Simeon
menyampaikan nubuat kepadanya di Bait Allah; ia berduka dalam
pengungsian ke Mesir, tetapi semuanya itu dilaluinya bersama Yesus.
Tetapi, dalam dukacitanya yang ini, Bunda Maria berduka terpisah dari
Yesus, bahkan tak tahu di mana Ia berada, “cahaya matakupun lenyap dari padaku.”
Sebab itu, sambil menangis ia mengatakan, “Ah, cahaya mataku, Yesus
terkasih, tidak lagi bersamaku; Ia jauh dariku dan aku tidak tahu
kemanakah gerangan Ia pergi.” Origen mengatakan bahwa karena kasih
sayang yang dilimpahkan Bunda Tersuci ini kepada Putranya, “ia menderita
jauh lebih hebat atas kehilangan Putranya Yesus daripada yang pernah
ditanggung para kudus manapun dalam perpisahan jiwa dari raganya.” Ah,
betapa lamanya masa tiga hari itu bagi Maria; serasa tiga abad lamanya,
dan seluruhnya kepahitan belaka, oleh sebab tak ada yang mampu
menghiburnya. Dan siapakah yang dapat menghiburku, demikian katanya
bersama Nabi Yeremia, siapakah yang dapat menenangkan hatiku, sebab Ia
seorang, yang dapat melakukannya, berada jauh dariku dan karenanya
mataku tak akan pernah cukup mencucurkan air mata. “Karena inilah aku menangis, mataku mencucurkan air; karena jauh dari padaku penghibur yang dapat menyegarkan jiwaku.” Dan bersama Tobit ia mengulang, “Adakah sukacita bagiku yang duduk dalam kegelapan dan tidak melihat cahaya surgawi?”
Alasan
kedua, Bunda Maria, dalam semua dukacitanya yang lain, memahami benar
bahwa alasannya adalah demi penebusan umat manusia, yaitu kehendak
Allah; tetapi dalam dukacitanya yang ini, ia tidak memahami alasan
hilangnya Putranya. “Bunda yang berduka,” kata Lanspergius, “bersedih
hati atas tiadanya Yesus, sebab dalam kerendahan hatinya, ia menganggap
dirinya tak pantas lagi untuk tetap tinggal bersama ataupun merawat-Nya
di dunia ini dan menerima tanggung jawab atas harta pusaka yang luar
biasa itu.” “Dan siapa tahu,” demikian pikirnya dalam hati, “mungkin
aku tidak melayani-Nya seperti yang seharusnya; mungkin aku bersalah
karena lalai, sebab itu Ia meninggalkanku.” “Mereka mencari-Nya,” kata
Origen, “kalau-kalau sekiranya Ia telah meninggalkan mereka sama
sekali.” Suatu hal yang pasti bahwa bagi jiwa yang mengasihi Tuhan, tak
ada kesedihan yang lebih besar daripada takut mengecewakan-Nya.
Sebab itu, hanya dalam dukacita ini saja Bunda Maria mengeluh; secara halus ditegurnya Yesus setelah ia menemukan-Nya, “Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau.”
Dengan kata-katanya ini Bunda Maria tidak bermaksud mencela Yesus,
seperti dituduhkan oleh mereka yang sesat, melainkan hanya bermaksud
mengungkapkan kepada-Nya kesedihan, karena kasihnya yang mendalam
kepada-Nya, yang ia alami selama ketidakhadiran-Nya. “Bukan suatu
celaan,” kata Denis Carthusian, “melainkan suatu protes kasih.” Singkat
kata, pedang dukacita ini begitu kejam menembus hati Santa Perawan
Tersuci. Beata Benvenuta, rindu suatu hari dapat berbagi duka dengan
Bunda Tersuci dalam dukacitanya ini dan memohon kepada Bunda Maria agar
kerinduannya dikabulkan. Bunda Maria menampakkan diri kepadanya dengan
Bayi Yesus dalam pelukannya, tetapi sementara Benvenuta menikmati
kehadiran Kanak-kanak yang paling menawan hati ini, dalam sekejap ia
dipisahkan dari-Nya. Begitu dalam kesedihan Benvenuta hingga ia mohon
pertolongan Bunda Maria untuk meringankan penderitaannya, agar
dukacitanya itu jangan sampai mengakibatkan kematian. Tiga hari
kemudian, Santa Perawan menampakkan diri kembali dan mengatakan,
“Ketahuilah, puteriku, penderitaanmu itu hanyalah sebagian kecil dari
yang aku derita ketika aku kehilangan Putraku.”
Dukacita
Bunda Maria ini, pertama-tama, berguna sebagai penghiburan bagi
jiwa-jiwa yang menderita, dan tak lagi menikmati, seperti dulu mereka
menikmati, kehadiran mesra Tuhan mereka. Jiwa-jiwa demikian boleh
menangis, tetapi sepantasnya mereka menangis dalam damai, seperti Bunda
Maria menangisi ketidakhadiran Putranya; dan biarlah jiwa-jiwa itu
menimba keberanian, dan bukannya takut bahwa Allah tak berkenan lagi
kepada mereka; sebab Tuhan sendiri telah menegaskan keada St Teresa
bahwa “tak seorang pun sesat tanpa mengetahuinya; dan tak seorang pun
diperdaya tanpa ia sendiri menghendakinya.” Karenanya, jika Tuhan
menarik diri dari suatu jiwa yang mengasihi-Nya, Ia tidak sungguh-sunggh
meninggalkan jiwa; Tuhan seringkali menyembunyikam Diri dari suatu jiwa
agar jiwa mencari-Nya dengan kerinduan yang lebih berkobar dan dengan
cinta yang lebih bernyala-nyala. Tetapi, barangsiapa rindu bertemu
Yesus, ia harus mencari-Nya, bukan di antara segala kenikmatan dan
kesenangan duniawi, melainkan di antara salib-salib dan penyangkalan
diri, seperti Bunda Maria mencari-Nya, “aku dengan cemas mencari Engkau,” demikian kata Bunda Maria kepada Putranya. “Jadi, aku belajar dari Maria,” kata Origen, “dalam mencari Yesus.”
Lagipula,
di dunia ini Bunda Maria tidak mencari yang lain selain Yesus. Ayub
tidak mengutuk ketika ia kehilangan segala miliknya di dunia: kekayaan,
anak-anak, kesehatan, kehormatan, dan bahkan diturunkan dari tahta ke
atas abu; tetapi karena Tuhan bersamanya, ia tetap menerima keadaannya. St Agustinus menyatakan,
“ia telah kehilangan segala apa yang Tuhan berikan kepadanya, tetapi ia
masih memiliki Tuhan Sendiri.” Betapa menyedihkan dan menderitanya
jiwa-jiwa yang kehilangan Tuhan. Jika Bunda Maria menangisi
ketidakhadiran Putranya selama tiga hari, betapa terlebih lagi
selayaknya para pendosa menangis, mereka yang telah kehilangan rahmat
Allah, dan kepadanya Tuhan mengatakan, “kamu ini bukanlah umat-Ku dan Aku ini bukanlah Allahmu.” Inilah akibat dosa; dosa memisahkan jiwa dari Tuhan, “yang merupakan pemisah antara kamu dan Allahmu ialah segala kejahatanmu.”
Jadi, jika orang-orang berdosa memiliki segala kekayaan dunia, tetapi
kehilangan Tuhan, maka segalanya, bahkan yang ada di dunia ini, menjadi
sia-sia dan menjadi sumber penderitaan mereka, seperti diakui Salomo, “lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin.”
Tetapi kemalangan terbesar dari jiwa-jiwa yang buta ini adalah,
demikian menurut St Agustinus, “apabila mereka kehilangan kapak,
pastilah mereka pergi mencarinya; apabila mereka kehiangan domba,
pastilah mereka berusaha keras mencarinya; apabila mereka kehilangan
binatang beban, mereka tak dapat beristirahat; tetapi ketika mereka
kehilangan Tuhan mereka, yang adalah Yang Mahabaik, mereka makan, minum
dan beristirahat.”
TELADAN
Dalam
Surat-surat Tahunan Serikat Yesus dikisahkan bahwa di India, seorang
pemuda meninggalkan kamarnya dengan maksud untuk berbuat dosa, ketika
didengarnya suatu suara yang mengatakan, “Berhentilah! kemanakah engkau
hendak pergi?” Ia melihat sekeliling dan tampaklah olehnya suatu gambar
relief yang melukiskan Bunda Dukacita, sedang mengulurkan pedang yang
ada di dadanya, katanya, “Ambillah pedang ini, lebih baiklah engkau
menusukkannya ke hatiku daripada melukai Putraku dengan berbuat dosa
yang demikian.” Mendengar kata-kata ini, pemuda itu merebahkan diri ke
tanah, meledak dalam tangis, penuh sesal mohon pengampunan dari Tuhan
dan Bunda Maria.
DOA
Ya
Bunda Maria, mengapakah engkau menyiksa dirimu sendiri saat mencari
Putramu yang hilang? Adakah karena engkau tidak tahu di mana Ia berada?
Tidak tahukah engkau bahwa Ia ada dalam hatimu? Tidak tahukah engkau
bahwa Ia menggembala di tengah-tengah bunga bakung? Engkau sendiri
mengatakannya, “Kekasihku kepunyaanku, dan aku kepunyaan dia yang menggembalakan domba di tengah-tengah bunga bakung.”
Segenap pikiran dan kasih sayangmu, yang bersahaja, murni dan suci,
adalah bunga-bunga bakung yang mengundang Mempelai Ilahi untuk tinggal
dalam engkau. Ah, Bunda Maria, adakah engkau berkeluh-kesah karena
Yesus, satu-satunya jantung hatimu? Berikanlah keluh-kesahmu kepadaku,
dan kepada begitu banyak orang berdosa yang tidak mengasihi-Nya, dan
yang telah kehilangan Dia karena menghina-Nya. Bundaku yang paling
menawan, jika karena dosa-dosaku Putramu belum kembali pada jiwaku,
sudilah engkau membantuku agar aku dapat menemukan-Nya. Aku yakin bahwa
Ia akan ditemukan oleh mereka yang mencari-Nya, “TUHAN adalah baik bagi jiwa yang mencari Dia”
Tetapi, ya Bunda, bantulah aku mencari-Nya seperti yang seharusnya.
Engkaulah pintu masuk di mana semua orang dapat menemukan Yesus; melalui
engkau, aku juga berharap dapat menemukan Dia. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar