"Saya hanya Seorang Kusta"
SHARING:

"Saya hanya Seorang Kusta"

oleh: P. Yohanes Gani Sukarso, CM



Kami duduk melingkari meja makan yang sangat besar. Suara musik dari TV mengalun mendendangkan lagu-lagu lama. Pembicaran kami meloncat dari satu hal ke lain hal. Sebetulnya kami berkumpul untuk membahas sebuah tema untuk acara beberapa bulan mendatang, namun tampaknya tema pembicaraan beralih dari acara ke pengalaman hidup. Pergulatan hidup selama ini.
Dua temanku adalah imam yang telah beberapa lama meninggalkan hidup imamatnya. Dia sudah menikah dan mempunyai anak. Kulihat kehidupannya sekarang sudah mapan dan bahagia. Dia menceritakan beratnya hidup setelah meninggalkan pastoran. Bukan soal ekonomi, melainkan soal pandangan masyarakat. Menurutnya, orang-orang yang dulu mempunyai hubungan cukup dekat dengannya sekarang pergi menjauh. Pernah ada seorang ibu yang dulu sangat baik padanya, namun suatu hari ketika berpapasan dengannya dia memalingkan wajah. Jadi, jangankan menyapa melihat pun orang tidak mau. Menurutnya, itu sudah menjadi resiko yang harus diterima dari sebuah keputusan.
Teman ini melanjutkan sharingnya. Pernah dia akan merayakan ulang tahun anaknya di sebuah tempat, tapi karena dia seorang bekas imam, maka dia ditolak. Ini sangat memedihkan. Begitu burukkah dirinya sehingga orang tidak mau lagi bertegur sapa dengannya? Dia tidak bisa menggunakan sebuah tempat, meski sudah membayar uang muka? Tapi semua itu dilihatnya secara positif, bahwa orang yang sekarang membencinya itu dulu sangat mencintainya. Mereka kecewa akan keputusan yang diambilnya.
Sharing terus berlangsung. Aku bayangkan seandainya aku jadi dirinya. Betapa pedih hatiku ditolak oleh banyak orang, dijauhi sebab aku orang yang sangat berdosa. Bahkan melihat pun orang tidak mau. Apakah ini tidak ubahnya seorang kusta pada jaman Yesus hidup? Mereka menderita bukan hanya disebabkan oleh penyakitnya, tetapi terlebih oleh sikap masyarakat yang menyingkirkannya.
Sambil mengunyah makanan yang cukup mewah aku merenungkan peristiwa Ayub. Dia adalah seorang kaya raya, namun dalam sekejap semua musnah dan dirinya pun ditimpa penyakit kusta. Semua orang meninggalkannya; bahkan istrinya pun turut meninggalkannya. Aku lihat teman-teman di depanku tidak ubahnya seperti Ayub. Memang, bedanya Ayub menderita bukan karena sebuah keputusan. Dia menderita sebab setan memberikan penderitaan di luar kehendak atau keputusan bebas Ayub. Sedangkan teman-temanku menderita sebagai buah dari sebuah keputusan. Dia disingkirkan, sebab dia memutuskan untuk meninggalkan panggilan hidupnya selama ini. Tapi apakah meninggalkan tugas imamat berarti sebuah dosa besar sehingga dia menjadi manusia yang sangat menjijikan dan tidak pantas lagi untuk disapa, diterima atau dimanusiakan? Tidak ada lagi tempat baginya dalam komunitas Gereja?
Seorang teman pernah mengatakan bahwa seorang imam yang meninggalkan tugas imamatnya itu seperti seorang tentara yang desersi dalam saat perang. Dia layak dihukum berat. Tapi hukuman tentara adalah hukuman fisik, sedangkan temanku ini dihukum non fisik. Dia disingkirkan oleh masyarakat. Kerap menjadi bahan gunjingan dan ejekkan. Hukuman itu tidak ada batasnya, bahkan sampai mati pun masih diingat orang. Anak-anak yang lahir dari perkawinannya pun kena getah dari dosa orangtuanya. Ada seorang teman yang tidak mau membaptis anak seorang mantan imam. Alasan temanku ialah bagaimana orangtuanya bisa mendidik iman anaknya kalau dia sendiri tidak setia pada imannya? Ada lagi yang mempersoalkan pernikahan orangtuanya yang bukan pernikahan Katolik atau orangtuanya tidak memiliki surat nikah Katolik. Tentu saja temanku yang meninggalkan tugas imamatnya tidak mungkin bisa menerima sakramen perkawinan. Dia akan menikah diluar Gereja. Namun bagiku, apakah seorang anak harus menanggung dosa orangtuanya? Bukankah mereka tidak tahu dosa orangtuanya? Dia lahir bukan dari sebuah pilihan. Dia tidak memilih akan lahir dari orangtua yang bekas seorang imam, tapi mengapa dia harus menanggung dosa yang bukan keputusannya?
Sambil minum es, temanku menceritakan bahwa dia sebetulnya rindu untuk menerima sakramen lain, misalnya: ekaristi, tobat dan sebagainya. Dia rindu untuk melayani umat. Namun hal itu tidaklah mungkin. Dia masuk gereja saja banyak mata yang memandangnya penuh dengan keheranan dan pelecehan. Banyak orang berbisik-bisik menggunjing. Bagaimana dia tahan dalam komunitas seperti itu. Seorang teman yang lain bertanya jika Yesus saja mau mengampuni orang yang tertangkap berbuah jinah, pemungut cukai, orang berdosa lain, apakah Dia tidak bisa mengampuni kami? Aku tidak mampu menjawabnya.
Dalam perjalanan pulang, sharing teman-temanku terus menghantui diriku. Betapa berat hidup dalam masyarakat yang mengucilkan. Betapa berat hidup yang serba salah. Kalau dia hidup dalam kemiskinan, maka orang akan mengatakan penuh hinaan itulah akibat orang yang meninggalkan tugas imamat. Jika dia kaya, maka orang dengan penuh kecurigaan mengatakan bahwa lihat orang itu mencari enaknya saja. Semua serba salah. Belum lagi pandangan-pandangan penuh hinaan. Orang menjadi enggan untuk berteman lagi, bahkan menyingkir. Ya, memang meninggalkan tugas imamat berarti menjadi orang kusta parah. Menjijikan dan harus disingkiri agar tidak tertular. Anak-anak dan istrinya pun harus disingkiri juga.
Tidak adakah pengampunan? Tidak adakah kesediaan menerima sebagai bagian dari orang yang bermartabat sama? Bukankah dalam Roma 12:19 Paulus mengatakan bahwa penghakiman itu adalah milik Allah. Dalam Rm 14 Paulus juga mempertanyakan mengapa kita menghina dan menghakimi saudara kita, sebab pengadilan adalah hak Allah? Semua orang harus mempertanggung jawabkan dirinya sendiri di hadapan Allah. Maka, orang tidak boleh saling menghina dan menghakimi. Paulus hanya menyarankan agar manusia tidak membuat batu sandungan bagi sesamanya. Teman yang meninggalkan tugas imamatnya, dia harus mempertanggung jawabkan keputusannya pada Allah, maka sebetulnya teman yang lain tidak bisa menghakimi. Tapi hal ini sangat sulit. Mereka sudah dianggap sangat berdosa. Temanku yang satu mengatakan bahwa hidupnya saat ini sama dengan perempuan yang tertangkap berbuat zinah. Dia diadili dimuka umum. Jika Yesus datang, apakah yang akan dilakukanNya? Apakah kami akan mengalami apa yang dialami oleh Yudas yang gantung diri dan dikatakan lebih baik tidak lahir saja? Atau masihkah ada pengampunan seperti yang dialami oleh Petrus?
Aku tahu bahwa mereka mengingkari kaul yang sudah pernah mereka ikrarkan. Kaul adalah janji seseorang pada Tuhan. Ini lebih daripada sumpah, apalagi janji. Dengan kaul, orang tidak lagi berhadapan dengan manusia, melainkan dengan Tuhan. Ketika dia mengingkari kaul, maka dia mengingkari kesepakatan dengan Tuhan. Seorang teman lain pernah mengatakan, jika dengan Tuhan saja dia mengingkari bagaimana dengan sesama? Kesimpulan ini aku anggap tidak pas. Dalam 1Yoh 4 ditulis bagaimana manusia bisa mencintai Tuhan yang tidak nampak bila dia tidak bisa mencintai sesamanya yang nampak. Hal ini hendak menunjukan besarnya cinta manusia pada Tuhan tampak pada besarnya cinta manusia pada sesama. Teman-temanku yang meninggalkan kaulnya bisa hidup bahagia dengan istri dan anaknya. Dia bisa mencintai mereka dengan sungguh. Dia pun terlibat dalam pelayanan pada Gereja lain, bukan untuk mencari popularitas atau dana bagi hidupnya, namun dia melakukan itu untuk menyalurkan dorongan semangat melayani. Sebuah pelayanan yang tulus. Bukankah ini bukti cintanya pada Tuhan?
Memang, banyak orang masih belum mampu menerima kenyataan adanya seorang imam yang meninggalkan tugas imamatnya. Banyak orang kecewa ketika melihat orang yang dihormatinya mengambil sebuah keputusan yang mereka anggap salah. Kekecewaan ini muncul dari rasa cinta dan harapan yang besar. Semakin besar cinta, harapan dan kebanggaan diletakkan, maka semakin dalam kekecewaan yang akan dialaminya. Kekecewaan ini terungkap dalam aneka sikap, perkataan dan cara dia memposisikan dirinya. Namun, apakah hanya itu? Kalau keluarnya seorang imam dari imamat dianggap sebagai dosa yang besar, apakah memang hanya dia yang dapat dicap sebagai pendosa besar? Jika dia dianggap sebagai orang yang sudah mengkhianati Tuhan, bagaimana dengan kita? Apakah kita tidak pernah mengkhianatiNya? Jika mereka dianggap tidak setia, apakah kita juga setia pada Tuhan? Berapa kali dalam sehari orang meninggalkan Tuhan? Berapa kali dalam sehari orang menutup mata akan kehadiran Tuhan dalam wajah orang miskin dan lemah? Temanku yang satu mengatakan, jika Yesus datang mungkin Dia akan mengatakan ulang, siapa yang tidak bersalah silakan melempar batu terlebih dahulu.
Sesama adalah cermin diri. Jika aku mulai melihat dosa di dalam wajah sesama dan menjadi benci padanya, jangan-jangan ada dosa sama yang kusembunyikan dalam diriku. Aku benci akan dosa itu, namun aku harus menanggungnya, sebab dia ada dalam dirku. Rasa benci ini membuatku benci pada orang yang melakukan hal yang sama. Sebetulnya, kebencian itu adalah persoalanku sendiri; antara aku dengan diriku. Ketika aku dengan keras mengatakan bahwa temanku itu tidak setia, jangan-jangan itu adalah pantulan diriku yang sering meninggalkan Allah. Aku tidak berani menatap diriku sendiri yang terpantul dari sesamaku.
Di halaman pastoran, teman-temanku pamit pulang dan berjanji akan bertemu denganku kembali. Kulihat mereka meninggalkan aku sendirian di depan kamarku. Beberapa anak muda masih asyik membaca dan mendengarkan lagu-lagu dari komputer di kamarku. Mereka bertanya aku dari mana. Pertanyaan tidak kujawab, namun aku bertanya pada mereka. Seandainya aku meninggalkan imamat, apakah mereka masih mau bersahabat denganku? Teman-temanku menatapku bingung. Tidak ada jawaban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar