Dukacita Kelima

Dukacita Kelima

Yesus Wafat

oleh: St. Alfonsus Maria de Liguori


Sekarang
kita merenungkan kemartiran Bunda Maria yang lain - seorang ibunda yang
diharuskan melihat Putranya yang tak berdosa, dan yang ia cintai dengan
segenap kasih sayang jiwanya, disiksa dengan keji dan dijatuhi hukuman
mati di depan matanya, “Dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya.”
St Yohanes yakin bahwa dengan kata-kata tersebut ia telah cukup
mengungkapkan kemartiran Maria. Marilah merenungkan Bunda Maria yang
berada di kaki salib, menemani Putranya yang meregang nyawa, dan
lihatlah, adakah dukacita seperti dukacitanya. Marilah pada hari ini
kita tinggal sejenak di Kalvari dan merenungkan pedang dukacita kelima,
yang saat wafat Yesus, menembus hati Maria.
Segera
setelah Penebus kita yang sengsara tiba di Bukit Kalvari, para algojo
menanggalkan pakaian-Nya, dan menembusi tangan-tangan serta
kaki-kaki-Nya dengan “bukan paku-paku yang tajam, melainkan paku-paku
yang tumpul,” seperti dikatakan St Bernardus, agar lebih
menyiksa-Nya, mereka memaku-Nya pada kayu salib. Sesudah
menyalibkan-Nya, mereka memancangkan salib lalu membiarkan-Nya mati.
Para algojo meninggalkan-Nya, namun tidak demikian dengan Maria. Ia
kemudian mendekati salib, agar dapat mendampingi-Nya di saat ajal, “Aku
tidak meninggalkan-Nya,” demikian Santa Perawan mengatakan kepada St Brigitta, “melainkan tinggal dekat kaki salib-Nya.” “Tetapi, apakah gunanya bagimu, ya Bunda,” kata St Bonaventura,
“pergi ke Kalvari dan menyaksikan Putramu wafat? Tidakkah rasa malu
mencegah engkau pergi, sebab aib-Nya adalah aibmu, karena engkau adalah
Bunda-Nya. Setidak-tidaknya rasa ngeri yang mencekam menyaksikan
kejahatan yang sedemikian, penyaliban Tuhan oleh makhluk ciptaan-Nya
sendiri, mencegah engkau pergi ke sana.” Tetapi, santo yang sama
menjawab, “Ah, hatimu tidak memikirkan dukacitanya sendiri, melainkan
sengsara dan wafat Putramu terkasih,” dan oleh sebab itulah engkau lebih
suka hadir, setidaknya untuk berbelas kasihan kepada-Nya. “Ah, Bunda
yang sejati,” kata Abbas William, “Bunda yang paling penuh cinta kasih,
yang bahkan ngeri kematian tak dapat memisahkanmu dari Putramu
terkasih.” Tetapi, ya Tuhan, betapa suatu pemandangan yang memilukan
melihat Putra menanggung sengsara di atas salib sementara di kaki salib
Bunda yang berduka menanggung segala siksa aniaya yang diderita
Putranya! Dengarlah kata-kata yang diungkapkan Bunda Maria kepada St
Brigitta mengenai dukacita luar biasa saat menyaksikan Putranya meregang
nyawa di salib, “Yesusku
terkasih napas-Nya tersengal-sengal, tenaga-Nya terkuras, dan dalam
sengsara akhirnya di salib; kedua mata-Nya masuk ke dalam, setengah
tertutup dan tak bercahaya; bibir-nya bengkak dan mulut-Nya ternganga;
pipinya cekung, wajah-Nya kusut; hidung-Nya patah; raut wajah-Nya
sengsara: kepala-Nya lunglai ke dada-Nya, rambut-Nya hitam oleh darah,
lambung-Nya kempis ke dalam, kedua tangan dan kaki-Nya kaku, sekujur
tubuh-Nya penuh dengan luka dan darah.”
Segala sengsara Yesus ini adalah juga sengsara Maria, “setiap aniaya yang diderita tubuh Yesus,” kata St Hieronimus, “adalah luka di hati Bunda Maria.” “Siapa pun yang hadir di Bukit Kalvari saat itu,” kata St Yohanes Krisostomus,
“akan melihat dua altar di mana dua kurban agung dipersembahkan; yang
satu adalah tubuh Yesus, yang lainnya adalah hati Maria.” Tidak, lebih
tepat jika kita mengatakannya bersama St Bonaventura, “hanya ada satu
altar - yaitu salib Putra, di mana, bersama dengan kurban Anak Domba
Allah ini, sang Bunda juga dikurbankan.” Sebab itu, St Bonaventura
bertanya kepada sang Bunda, “Oh, Bunda, di manakah gerangan engkau? Di
kaki salib? Tidak, melainkan engkau berada di atas salib, disalibkan,
mengurbankan diri bersama Putramu.” St Agustinus
menegaskan hal yang sama, “Salib dan paku-paku sang Putra adalah juga
salib dan paku-paku Bunda-Nya; bersama Yesus Tersalib, disalibkan juga
Bunda-Nya.” Ya, seperti dikatakan St Bernardus, “Kasih mengakibatkan
dalam hati Maria siksa aniaya yang disebabkan oleh paku-paku yang
ditembuskan pada tubuh Yesus.” Begitu dahsyatnya, seperti ditulis St
Bernardus, “Pada saat yang sama Putra mengurbankan tubuh-Nya, Bunda
mengurbankan jiwa-Nya.”
Para
ibu pada umumnya tidak tahan dan menghindarkan diri dari menyaksikan
anak-anak mereka mengalami sakrat maut, tetapi apabila seorang ibu harus
menghadapi kenyataan yang demikian, ia akan mengusahakan segala daya
upaya untuk meringankan penderitaan anaknya; ia merapikan tempat
tidurnya agar anaknya merasa lebih nyaman, ia melayani segala kebutuhan
anaknya, dengan demikian ibu yang malang itu meringankan penderitanya
sendiri. Ah, Bunda yang paling berduka dari segala ibu! Ya Maria, engkau
harus menyaksikan sengsara Putramu Yesus yang sedang meregang nyawa;
tetapi engkau tak dapat melakukan sesuatu pun guna meringankan
penderitaan-Nya. Bunda Maria mendengar Putranya berseru, “Aku haus!”
tetapi ia bahkan tak dapat memberikan setetes air pun untuk melegakan
dahaga-Nya yang sangat. Ia hanya dapat mengatakan, seperti dikatakan St Vincentius Ferrer,
“Nak, ibu-Mu hanya punya airmata.” Ia melihat bahwa di atas pembaringan
salib, Putranya, yang digantung dengan tiga paku, tak dapat
beristirahat dengan tenang; betapa ingin ia merengkuh-Nya dalam
pelukannya guna meringankan penderitaan-Nya, atau setidak-tidaknya Ia
boleh menghembuskan napas terakhir-Nya dalam pelukannya, tetapi hal itu
tak dapat dilakukannya. “Dengan sia-sia,” kata St Bernardus, “ia
merentangkan kedua tangannya, tetapi tangan-tangan itu kembali ke
dadanya dengan kosong.” Ia menyaksikan Putranya yang malang, yang dalam
lautan sengsara-Nya mencari penghiburan, tetapi sia-sia, seperti
dinubuatkan nabi, “Aku seorang dirilah yang melakukan pengirikan, dan dari antara umat-Ku tidak ada yang menemani Aku!”
Tetapi, siapakah di antara manusia yang mau menghibur-Nya, karena
mereka semua memusuhi-Nya? Bahkan di atas salib Ia dicela dan dihujat
oleh orang-orang di sekitarnya, “orang-orang yang lewat di sana menghujat Dia …sambil menggelengkan kepala.” Sebagian berkata kepada-Nya, “Jikalau Engkau Anak Allah, turunlah dari salib itu!” Yang lain berkata, “Orang lain ia selamatkan, tetapi diri-Nya sendiri tidak dapat Ia selamatkan!” Lagi, “Ia Raja Israel? Baiklah Ia turun dari salib itu.”
Bunda Maria sendiri mengatakan kepada St Brigitta, “Aku mendengar
sebagian orang mengatakan bahwa Putraku seorang penjahat; sebagian lagi
mengatakan bahwa Ia seorang penipu; yang lainnya mengatakan bahwa tak
ada yang lebih pantas dijatuhi hukuman mati selain daripada Dia; dan
setiap kata yang mereka lontarkan merupakan pedang-pedang dukacita baru
yang menembusi hatiku.”
Tetapi,
yang paling menambah beban duka yang diderita Bunda Maria melalui belas
kasihannya terhadap Putranya adalah ketika ia mendengar-Nya mengeluh
dari atas salib bahwa bahkan Bapa-Nya yang Kekal telah meninggalkan-Nya,
“Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”
Kata-kata ini, seperti diungkapkan Bunda Allah kepada St Brigitta, tak
pernah dapat, sepanjang hidupnya, lepas dari ingatannya. Jadi, Bunda
yang berduka menyaksikan Putranya Yesus menanggung sengsara dari
berbagai pihak; ia berhasrat menghiburnya, tetapi tak dapat. Dan yang
paling mendukakan hatinya ialah menyadari bahwa dirinya sendiri,
kehadiran dan dukacitanya, menambah sengsara Putranya. “Dukacita,” kata
St Bernardus, “yang memenuhi hati Maria, bagaikan air bah membanjiri
serta melukai hati Yesus.” “Begitu hebatnya,” menurut santo yang sama,
“hingga Yesus di atas salib lebih menderita karena belas kasihan-Nya
terhadap Bunda-Nya daripada karena sengsara-Nya sendiri.” Kemudian ia
berbicara atas nama Bunda Maria, “Aku berdiri dengan mataku terpaku
pada-Nya, dan mata-Nya padaku, dan Ia lebih menderita karena aku
daripada karena Diri-Nya Sendiri.” Lalu, berbicara mengenai Bunda Maria
yang berada di samping Putranya yang meregang nyawa, ia mengatakan, “ia
hidup dalam kematian tanpa dapat mati.” “Di kaki salib Kristus,
Bunda-Nya berdiri separuh mati; ia tak berbicara, mati sementara ia
hidup, dan hidup sementara ia mati; ia tak dapat mati, sebab kematian
adalah hidupnya yang sesungguhnya.” Passino menulis bahwa Yesus Kristus
Sendiri suatu hari berbicara kepada Beata Baptista Varani dari Camerino,
meyakinkannya bahwa saat di atas salib, begitu hebat dukacitanya
melihat Bunda-Nya berdiri di kaki salib dalam dukacita yang luar biasa,
hingga belas kasihan-Nya terhadapnya menyebabkan Ia wafat tanpa
penghiburan; begitu dahsyat dukacita itu hingga Beata Baptista, yang
dianugerahi pencerahan ilahi, merasakan luar biasanya sengsara Yesus
ini, berseru, “Ya Tuhan, jangan ceritakan lagi sengsara-Mu ini, sebab
aku tak mampu lagi menanggungnya.”
“Semua
orang,” kata Simon dari Cassia, “yang saat itu menyaksikan Bunda Maria
diam seribu bahasa, tanpa sepatah kata pun keluhan, di tengah dukacita
yang begitu hebat itu, merasa tercengang.” Tetapi, jika bibirnya tenang,
tidak demikian halnya dengan hatinya, sebab tak henti-hentinya Bunda
Maria mempersembahkan hidup Putra-Nya kepada Keadilan Ilahi demi
keselamatan umat manusia. Oleh sebab itu, kita tahu bahwa dengan
jasa-jasa dukacitanya, Bunda Maria bekerjasama dengan Allah dalam
melahirkan kita ke dalam kehidupan rahmat, dan dengan demikian kita
adalah anak-anak dari dukacitanya.
“Kristus,”
kata Lanspergius, “bersuka hati bahwa ia, rekan dalam penebusan kita,
dan yang telah Ia tetapkan untuk diberikan-Nya kepada kita sebagai Bunda
kita, hadir di sana; sebab di kaki saliblah ia ditetapkan untuk
melahirkan kita, anak-anaknya.” Jika ada setitik penghiburan yang mampu
menembus lautan dukacita dalam hati Bunda Maria, satu-satunya
penghiburan itu ialah bahwa ia mengetahui, dengan dukacitanya ia
menghantar kita pada keselamatan abadi, seperti yang dinyatakan Yesus
Sendiri kepada St Brigitta, “Bunda-Ku Maria, oleh karena belas kasihan
dan kasih sayangnya, diangkat menjadi Bunda Seluruh Langit dan Bumi.”
Dan sungguh, inilah kata-kata terakhir yang diucapkan Yesus sebagai
salam perpisahan kepada Bunda-Nya sebelum Ia wafat: inilah pesan
terakhir-Nya, mempercayakan kita semua kepadanya sebagai anak-anaknya
melalui sosok St Yohanes, “Ibu, inilah anakmu!” Sejak saat itu Bunda Maria memulai perannya sebagai Bunda bagi kita; St Petrus Damianus
menegaskan, “melalui doa-doa Maria, yang berdiri di kaki salib antara
penyamun yang baik dan Putranya, penyamun itu dipertobatkan dan
diselamatkan, dan dengan demikian ia membalas kebaikannya di masa
lampau.” Sebab, seperti dikisahkan para penulis lainnya juga, penyamun
ini telah bermurah hati kepada Yesus dan Bunda Maria dalam pengungsian
mereka ke Mesir. Peran yang sama dari Santa Perawan terus berlanjut, dan
masih berlanjut, untuk selamanya.
TELADAN
Seorang
pemuda di Perugia berjanji kepada iblis, jika iblis membuatnya mampu
mendapatkan obyek dosa yang ia dambakan, ia akan mempersembahkan
jiwanya; ia menyerahkan perjanjian tertulis kepada iblis yang
ditandatangani dengan darahnya. Setelah kejahatan dilakukan, iblis
menuntut dipenuhinya janji sang pemuda. Untuk itu, iblis menggiringnya
ke tepi sungai yang dalam dan mengancam jika ia tidak menceburkan diri
ke dalamnya, iblis akan menyeretnya, tubuh dan jiwa, ke dalam neraka.
Pemuda malang ini, berpikir bahwa tidaklah mungkin meloloskan diri dari
tangan iblis, naik ke sebuah jembatan kecil di mana ia dapat meloncat;
gemetar akan bayangan kematian, ia mengatakan kepada iblis bahwa ia
tidak memiliki keberanian untuk meloncat; jika iblis menuntut
kematiannya, iblislah yang harus mendorongnya. Pemuda ini mengenakan
skapulir SP Maria Berdukacita, sebab itu iblis berkata, “Lepaskan
skapulir itu, maka aku akan mendorongmu.” Sang pemuda, menyadari bahwa
melalui skapulirnya Bunda Allah masih berkenan memberinya perlindungan,
menolak melakukannya. Pada akhirnya, setelah pertengkaran sengit, iblis
dengan putus asa pergi; dan si pendosa, penuh rasa syukur kepada Bunda
Dukacita, pergi untuk berterima kasih kepadanya dan mengakukan
dosa-dosanya. Sesuai nazarnya, sang pemuda mempersembahkan bagi Santa
Perawan, di gereja Santa Maria la Nuova di Perugia, sebuah lukisan yang
menggambarkan apa yang telah terjadi.
DOA
Ah,
Bunda yang paling berduka dari segala ibunda, Putramu telah wafat;
Putra yang begitu menawan dan yang begitu mengasihi engkau! Menangislah,
sebab engkau punya alasan untuk mengangis. Siapakah gerangan yang mampu
menghibur engkau? Hanya pikiran bahwa Yesus dengan wafat-Nya
menaklukkan neraka, membuka pintu gerbang surga yang hingga saat itu
tertutup bagi manusia, dan memenangkan banyak jiwa-jiwa, yang mampu
menghibur engkau. Dari atas tahta salib, Ia akan berkuasa dalam begitu
banyak hati, yang, takluk pada kasih-Nya, akan mengabdi-Nya dengan
sepenuh hati. Sementara itu, ya Bundaku, janganlah menolak aku, ijinkan
aku berada di dekatmu, menangis bersamamu, sebab aku punya banyak alasan
untuk mengangisi dosa-dosaku dengan mana aku telah menghina-Nya. Ah,
Bunda Belas Kasihan, aku berharap, pertama-tama, melalui wafat
Penebus-ku, dan kemudian melalui dukacitamu, untuk memperoleh
pengampunan serta keselamatan abadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar