Dukacita Keempat

Dukacita Keempat

Perjumpaan Bunda Maria dengan Yesus

saat Ia Menjalani Hukuman Mati

oleh: St. Alfonsus Maria de Liguori


St Bernardinus mengatakan,
agar dapat memperoleh gambaran betapa dahsyat dukacita Maria atas wafat
Yesus, patutlah kita merenungkan betapa besar kasih sayang Bunda Maria
yang dilimpahkannya kepada Putranya. Semua ibu merasakan penderitaan
anak-anak mereka sebagai penderitaan mereka sendiri. Sebab itu, ketika
wanita Kanaan memohon kepada Juruselamat kita agar membebaskan puterinya
dari setan yang menyiksanya, ia mohon pada-Nya untuk berbelas kasihan
kepadanya, sang ibu, daripada puterinya, “Kasihanilah aku, ya Tuhan, Anak Daud, karena anakku perempuan kerasukan setan dan sangat menderita.”
Tetapi, adakah ibu yang mengasihi anaknya lebih dari Bunda Maria
mengasihi Yesus? Ia adalah Putra tunggalnya, dibesarkan di tengah begitu
banyak kesulitan hidup; seorang Putra yang paling menawan, dan
mengasihi Bunda-Nya dengan kasih mesra; Putra, yang bukan saja Putranya,
melainkan juga Tuhannya, yang telah datang ke dunia guna menyalakan
dalam hati semua orang api kasih ilahi, seperti yang Ia Sendiri
nyatakan, “Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapakah Aku harapkan api itu telah menyala!” Marilah
kita membayangkan betapa api telah Ia nyalakan dalam hati murni
Bunda-Nya yang Tersuci, api kasih yang tidak seperti dari dunia ini.
Bunda Maria sendiri mengatakan kepada St Brigitta, kasih itu telah membuat hatinya dan hati Putranya menjadi satu. Leburnya antara Hamba
dan Bunda, dengan Putra dan Allah, menciptakan dalam hati Maria api
yang terdiri dari ribuan nyala api. Namun demikian, keseluruhan nyala
api kasih ini kelak, pada saat sengsara, berubah menjadi lautan
dukacita, seperti dinyatakan St Bernardinus, “andaikata segala derita
sengsara di seluruh dunia dijadikan satu, masih tidak akan sebanding
dengan dukacita Perawan Maria yang mulia.” Ya, sebab, seperti ditulis
Richard dari St Laurentius, “semakin lemah lembut Bunda Maria mengasihi,
semakin dalamlah ia terluka.” Semakin besar kasihnya kepada-Nya,
semakin besar dukacitanya saat sengsara-Nya; teristimewa saat Ia
berjumpa dengan Putranya, yang telah dijatuhi hukuman mati, memanggul
salib-Nya ke tempat pelaksanaan hukuman mati. Inilah pedang dukacita
keempat yang kita renungkan pada hari ini.
Bunda
Maria mengungkapkan kepada St Brigitta bahwa ketika saat sengsara
Kristus semakin dekat, matanya senantiasa bersimbah airmata, sementara
pikirannya tak lepas dari Putranya terkasih, yang akan terpisah darinya
di dunia ini, dan bayangan akan sengsara yang segera tiba menyebabkannya
diliputi ketakutan, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Lihat,
waktu yang ditetapkan sejak lama telah tiba, dan Yesus, dengan
meneteskan airmata, mohon pamit dari Bunda-Nya sebelum Ia menyongsong
maut. St Bonaventura, merenungkan Bunda
Maria pada malam itu, mengatakan, “Engkau melewatkan malam-malam tanpa
terlelap, dan sementara yang lain tertidur pulas, engkau tetap terjaga.”
Pagi harinya, para murid Yesus Kristus datang kepada Bunda yang
berduka, seorang memberitakan kabar, yang lain membawa kabar yang lain
pula; namun semuanya kabar dukacita, membuktikan digenapinya nubuat
Yeremia atasnya, “Pada malam hari tersedu-sedu ia menangis,
airmatanya bercucuran di pipi; dari semua kekasihnya, tak ada seorang
pun yang menghibur dia.” Sebagian menceritakan kepadanya
perlakuan keji terhadap Putranya di rumah Kayafas; yang lain, penghinaan
yang Ia terima dari Herodes. Pada akhirnya - aku menghilangkan yang
lainnya - St Yohanes datang dan mengabarkan kepada Bunda Maria bahwa
Pilatus yang sangat tidak adil telah menjatuhkan hukuman mati disalib
atas-Nya. Aku katakan Pilatus yang sangat tidak adil; sebab seperti
perkataan St Leo, “Hakim yang tidak adil ini menjatuhkan hukuman mati atas-Nya dengan bibir yang sama yang
memaklumkan bahwa Ia tidak bersalah.” “Ah, Bunda yang berduka,” kata St
Yohanes, “Putramu telah dijatuhi hukuman mati, Ia telah pergi,
memanggul salib-Nya sendiri ke Kalvari,” seperti yang kemudian
dikisahkan orang kudus ini dalam Injilnya, “Sambil memikul salib-Nya Ia pergi ke luar ke tempat yang bernama tempat Tengkorak, dalam bahasa Ibrani: Golgota.” “Marilah, jika engkau berharap berjumpa dengan-Nya di tengah jalan yang akan dilewati-Nya, dan menyampaikan selamat tinggal.”
Bunda
Maria pergi bersama St Yohanes, dan dari darah yang tercecer di tanah,
ia tahu bahwa Putranya telah lewat. Hal ini dinyatakan Bunda Maria
kepada St Brigitta, “Dari jejak-jejak Putraku, aku tahu di mana Ia telah
lewat. Sebab sepanjang perjalanan, tanah dibasahi dengan darah-Nya.” St
Bonaventura menggambarkan Bunda yang berduka mengambil jalan pintas,
menanti di sudut jalan agar dapat berjumpa dengan Putranya yang sengsara
saat Ia lewat. “Bunda yang paling berduka,” kata St Bernardus, “berjuma
dengan Putranya yang paling sengsara.” Sementara Bunda Maria menanti di
sudut jalan, betapa banyak ia mendengar apa yang dikatakan orang-orang
Yahudi, yang segera mengenalinya, segala kata yang menyudutkan Putranya
terkasih, dan mungkin bahkan kata-kata yang mencela dirinya juga.
Sungguh
malang, betapa adegan duka hadir di hadapannya! paku-paku, palu, tali,
alat-alat yang mendatangkan maut bagi Putranya, semuanya di bawa
mendahului-Nya. Dan betapa suara terompet yang memaklumkan hukuman mati
bagi Putranya itu menyayat hatinya! Tetapi lihatlah, segala alat-alat
hukuman mati, peniup terompet, dan para algojo, semuanya telah berlalu;
ia mengangkat matanya dan melihat, ya Tuhan! seorang pemuda penuh
berlumuran darah dan luka-luka dari ujung kepala hingga ujung kaki,
sebuah mahkota duri di sekeliling kepala-Nya, dan dua palang berat di
pundak-Nya. Ia memandang pada-Nya, hampir-hampir tak mengenali-Nya, dan
berkata bersama Yesaya, “dan semaraknya pun tidak ada sehingga kita memandang dia.” Ya, sebab luka-luka, bilur-bilur dan gumpalan-gumpalan darah membuat-Nya tampak seperti seorang kusta: “kita mengira dia kena tulah” sehingga kita tak mengenali-Nya lagi, “ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kita pun dia tidak masuk hitungan.”
Tetapi, kuasa cinta menyatakan-Nya kepadanya, dan segera setelah ia
menyadari bahwa pemuda itu sungguh Putranya, ah betapa cinta dan ngeri
menguasai hatinya! demikian dikatakan St Petrus dari Alcantara dalam
meditasinya. Di satu pihak, Bunda Maria berhasrat memandang-Nya, namun,
di pihak lain ia takut tak dapat menahan hatinya melihat pemandangan
yang menyayat hati itu. Pada akhirnya, mereka saling memandang. Sang
Putra menyeka gumpalan darah dari mata-Nya, seperti dinyatakan kepada St
Brigitta, yang menghalangi penglihatan-Nya, dan memandang Bunda-Nya,
dan Sang Ibunda memandang Putranya. Ah, lihatlah betapa dukacita yang
pahit, bagaikan begitu banyak anak panah menancap serta menembusi kedua
jiwa kudus yang penuh kasih itu. Ketika Margareta, puteri St. Thomas More berjumpa
dengan ayahnya dalam perjalanan eksekusinya, ia hanya dapat berseru, “O
ayah! Ayah!” dan jatuh pingsan di depan kaki ayahnya. Bunda Maria,
berjumpa dengan Putranya dalam perjalanan-Nya ke Kalvari, tidak pingsan,
tidak, seperti dikatakan Pastor Suarez, bahwa mestinya Bunda ini telah
kehilangn akal; atau pun tewas. Namun demikian Tuhan melindunginya guna
menanggung dukacita yang lebih dahsyat; walaupun ia tidak mati,
dukacitanya cukup menyebabkannya mati seribu kali.
“Sang Bunda berhasrat memeluk Putranya,” demikian kata St Anselmus,
“tetapi para prajurit mendorongnya ke samping dengan kejam dan memaksa
Kristus yang menderita melangkah maju; dan Bunda Maria mengikuti-Nya.
Ah, Santa Perawan, ke manakah gerangan engkau hendak pergi? Ke Kalvari.
Yakinkah engkau bahwa engkau sanggup memandang Dia, yang adalah hidupmu
sendiri, tergantung di salib?” Dan hidupmu akan tergantung di hadapanmu.
“Ah, berhentilah Bunda-Ku,” kata St Laurentius Giustiniani
atas nama sang Putra, “Ke manakah engkau hendak pergi? Dari manakah
engkau datang? Jika engkau pergi ke mana Aku pergi, engkau akan tersiksa
karena sengsara-Ku, dan Aku karena sengsaramu.” Namun, meskipun
menyaksikan Putranya Yesus yang meregang nyawa akan mengakibatkan
dukacita yang dahsyat, Bunda Maria yang penuh kasih tak mau
meninggalkan-Nya: sang Putra melangkah maju, sementara Bunda mengikuti,
agar juga dapat disalibkan bersama Putranya, seperti dikatakan Abbas
William, “sang Bunda juga memikul salibnya dan mengikuti Dia untuk
disalibkan bersama-Nya.” “Kita bahkan menaruh belas kasihan kepada
binatang-binatang liar,” tulis St Yohanes Krisostomus,
“melihat seekor induk singa menyaksikan anaknya mati, bukankah kita akan
tergerak oleh belas kasihan? Tidakkah kita juga tergerak oleh belas
kasihan melihat Bunda Maria mengikuti Anak Dombanya yang tak bercela ke
tempat pembantaian? Jadi, marilah kita menaruh belas kasihan kepadanya,
dan marilah kita juga menemaninya dan menemani Putranya, dengan memikul
dengan tekun salib yang Kristus anugerahkan kepada kita. St Yohanes
Krisostomus bertanya, mengapa Yesus Kristus, dalam sengsara-Nya yang
lain, lebih suka menanggung sengsara-Nya sendiri, tetapi, dalam memikul
salib-Nya Ia membiarkan diri dibantu oleh seorang Kirene? Ia menjawab,
“hendaknya kamu mengerti bahwa salib Kristus tidak lengkap tanpamu.”
TELADAN
Juruselamat
kita suatu hari menampakkan diri kepada Sr Diomira, seorang biarawati
di Florence, dan mengatakan, “Pikirkanlah Aku dan kasihilah Aku, maka
Aku akan memikirkan engkau dan mengasihi engkau.” Pada saat yang sama
Kristus memberinya seikat bunga dan sebuah salib, dengan cara demikian
menyatakan bahwa penghiburan bagi para kudus di dunia ini senantiasa
disertai dengan salib. Salib mempersatukan jiwa dengan Tuhan. Beato
Hieronimus Emilian, saat masih menjadi seorang tentara dan penuh dosa,
dikurung oleh para musuhnya dalam sebuah benteng. Di sana, terdorong
oleh kemalangannya, dan memperoleh pencerahan dari Tuhan untuk mengubah
hidupnya, ia mohon pertolongan Santa Perawan, dan sejak saat itu, dengan
pertolongan Bunda Allah, ia mulai hidup sebagai seorang kudus, begitu
saleh hidupnya hingga suatu hari ia beroleh karunia melihat tempat
sangat tinggi yang telah Tuhan persiapkan baginya di surga. Ia menjadi
pendiri ordo religius Somaschi, wafat sebagai seorang kudus, dan
baru-baru ini telah dikanonisasi oleh Gereja yang kudus.
DOA
Bundaku
yang berduka, demi dukacita luar biasa yang engkau derita saat
menyaksikan Putramu Yesus yang terkasih digiring menuju pembantaian,
perolehkanlah bagiku rahmat agar aku juga senantiasa tekun dalam memikul
salib-salib yang Tuhan anugerahkan kepadaku. Alangkah bahagianya aku,
seandainya aku tahu bagaimana menyertaimu dengan salibku hingga ajal.
Engkau bersama Putramu Yesus - kalian berdua yang sama sekali tak
berdosa - telah memikul salib yang jauh lebih berat; layakkah aku,
seorang pendosa, yang pantas mendapatkan neraka, menolak memikul
salibku? Ah, Santa Perawan yang Dikandung Tanpa Dosa, darimu aku
berharap memperoleh pertolongan dalam memikul semua salibku dengan
tekun. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar