
Dukacita Ketujuh

Yesus Dimakamkan

oleh: St. Alfonsus Maria de Liguori


Ketika
seorang ibu berada di samping anaknya yang sedang menderita dan
mengalami sakrat maut, tak diragukan lagi ia merasakan dan menanggung
segala penderitaan anaknya; tetapi setelah anaknya itu meninggal dunia,
sebelum jenazahnya dihantar ke makam, pastilah ibunda yang berduka itu
mengucapkan selamat berpisah kepada anaknya; dan kemudian, sungguh,
pikiran bahwa ia tak akan pernah melihat anaknya itu lagi merupakan
suatu dukacita yang melampaui segala dukacita. Lihatlah pedang dukacita
Maria yang terakhir, yang sekarang kita renungkan; setelah menyaksikan
wafat Putranya di salib dan memeluk tubuh-Nya yang tak bernyawa untuk
terakhir kalinya, Bunda yang terberkati ini harus meninggalkan-Nya di
makam, tak akan lagi pernah menikmati kehadiran Putranya yang terkasih
di dunia ini.
Agar
dapat memahami dengan lebih baik dukacita terakhir ini, kita akan
kembali ke Kalvari dan merenungkan Bunda yang berduka, yang masih
mendekap tubuh Putranya yang tak bernyawa dalam pelukannya. Oh Putraku,
demikian ia berkata dengan kata-kata Ayub, Putraku, “Engkau menjadi kejam terhadap aku.”
Ya, oleh sebab segala sifat-Mu yang agung, keanggunan-Mu, perilaku-Mu
dan kebajikan-kebajikan-Mu, sikap-Mu yang santun, segala tanda kasih
istimewa yang Kau limpahkan kepadaku, karunia-karunia khusus yang Kau
anugerahkan kepadaku - semuanya sekarang berubah menjadi dukacita, dan
bagaikan begitu banyak anak panah yang menembusi hatiku; semakin
semuanya itu memperdalam kasihku kepada-Mu, semakin kejam semuanya itu
kini memedihkan hatiku karena kehilangan Engkau. Ah, Putraku terkasih,
dengan kehilangan Engkau, aku kehilangan segalanya. St Bernardus
berbicara atas nama Bunda Maria, “Oh satu-satunya Allah yang Esa,
bagiku Engkau adalah Bapaku, Putraku, Mempelaiku: Engkau adalah jiwaku!
Sekarang aku direnggut dari Bapaku, menjadi janda dari Mempelaiku,
menjadi Bunda yang tak ber-Putra; yang merana karena kehilangan Putra
tunggalku, aku telah kehilangan segalanya.”
Demikianlah
Bunda Maria, dengan sang Putra dalam pelukannya, larut dalam dukacita.
Para murid yang kudus, khawatir kalau-kalau Bunda yang malang ini wafat
karena duka yang mendalam, menghampirinya untuk mengambil jenazah
Putranya dari pelukannya untuk dimakamkan. Kekejaman ini mereka lakukan
dengan lemah lembut serta penuh hormat, dan sesudah memburat tubuh-Nya
dengan rempah-rempah, mereka mengapani-Nya dengan kain lenan yang telah
mereka persiapkan. Di atas kain ini, yang hingga kini masih tersimpan di
Turin, Kristus berkenan meninggalkan bagi dunia gambar tubuh-Nya yang
kudus. Para murid lalu menghantar-Nya ke makam. Pertama-tama mereka
mengusung Tubuh Kudus di atas bahu mereka dan kemudian iring-iringan
duka itu pun berangkat; paduan suara malaikat dari surga mengiringi
mereka; para wanita kudus berjalan mengikuti, dan bersama mereka Bunda
yang berduka juga menyertai Putranya ke tempat pemakaman. Setiba mereka
di sana, “Oh, betapa senang hati Bunda Maria membiarkan dirinya dikubur
hidup-hidup bersama Putranya, andai memang demikian kehendak-Nya!”
seperti diungkapkan Bunda Maria sendiri kepada St Brigitta.
Tetapi karena bukan demikianlah kehendak Ilahi, banyak penulis
mengatakan bahwa ia menghantar tubuh kudus Yesus sampai ke makam, di
mana menurut Baronius, para murid juga menyertakan paku-paku dan mahkota
duri. Saat hendak menggulingkan batu penutup pintu masuk, para murid
sang Juruselamat yang kudus terpaksa menghampiri Bunda Maria dan
mengatakan, “Sekarang, ya Bunda, kami harus menutup pintu makam: maafkan
kami, tengoklah sekali lagi Putramu dan sampaikanlah salam perpisahan
kepada-Nya.” Putraku terkasih (pasti demikianlah Bunda yang berduka
berkata); aku tak kan melihat-Mu lagi. Sebab itu, pada kesempatan
terakhir aku memandang-Mu ini, terimalah salam perpisahanku, salam
perpisahan dari Bunda-Mu terkasih, dan terimalah juga hatiku, yang aku
tinggalkan agar dikubur bersama-Mu. St Fulgentius menulis, “Dalam diri
Bunda Maria berkobar hasrat agar jiwanya dikuburkan bersama tubuh
Kristus.” Bunda Maria mengungkapkan kepada St Brigitta, “Sejujurnya aku
katakan bahwa saat pemakaman Putraku, dalam makam yang satu itu
seolah-olah terdapat dua jiwa.”
Akhirnya,
para murid menggulingkan batu dan menutup makam yang kudus, di mana di
dalamnya terbaring tubuh Yesus, harta pusaka yang agung mulia - begitu
agung dan mulia hingga tak ada yang lebih agung dan mulia darinya, baik
di bumi maupun di surga. Pada bagian ini, ijinkanlah aku sedikit
menyimpang dan menegaskan bahwa hati Bunda Maria dikuburkan bersama
Yesus, sebab Yesus adalah satu-satunya hartanya, “Di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.”
Dan di manakah gerangan, seandainya kita boleh bertanya, hati kita
dikuburkan? Pada makhluk-makhluk ciptaan yang mungkin berkubang dalam
lumpur. Dan mengapakah tidak pada Yesus, yang, walaupun telah naik ke
surga masih dengan senang hati tinggal di bumi dalam Sakramen Mahakudus
di altar, bukankah tepat jika jiwa kita ada bersama-Nya, dan menjadi
milik-Nya? Baiklah, kita kembali kepada Bunda Maria. Sebelum
meninggalkan makam, menurut St Bonaventura, Bunda Maria
memberkati makam kudus yang kini telah tertutup rapat dengan berseru,
“Oh, makam yang bahagia, dalam rahimmu sekarang terbaring Tubuh Kudus
yang selama sembilan bulan aku kandung dalam rahimku; aku memberkati
engkau sembari iri padamu; aku percayakan penjagaan Putraku kepadamu,
Putra yang adalah satu-satunya hartaku dan kasihku.” Kemudian, dengan
mengangkat segenap hati kepada Bapa yang Kekal, ia berkata, “Ya Bapa,
kepada-Mu aku persembahkan Dia - Dia yang adalah PutraMu, yang sekaligus
adalah Putraku juga.” Demikianlah Bunda Maria menyampaikan salam
perpisahannya kepada Putranya Yesus yang terkasih dan kepada makam di
mana tubuh-Nya dibaringkan, lalu ia meninggalkan-Nya dan pulang ke
rumah. “Bunda ini,” kata St Bernardus, “pergi dalam keadaan begitu
berduka dan sengsara hingga ia menggerakkan banyak orang untuk
meneteskan airmata; di manapun ia lewat, semua yang bersua dengannya
menangis,” tak kuasa menahan airmata. Ia menambahkan bahwa para murid
yang kudus dan perempuan-perempuan yang menyertainya “lebih berdukacita
atasnya daripada atas Tuhan mereka.”
St
Bonaventura mengatakan bahwa saudari-saudari Bunda Maria
menyelubunginya dengan jubah duka, “Saudari-saudari Bunda kita
mengerudunginya sebagai janda, hingga hampir menutupi seluruh wajahnya.”
Ia juga menambahkan bahwa, saat lewat, dalam perjalanan pulang, di
depan salib yang masih basah oleh darah Putranya Yesus, dialah yang
pertama-tama memujanya, “O Salib Suci,” serunya, “aku mengecupmu, aku
memujamu, sebab kini engkau bukan lagi tiang hukuman yang mengerikan,
melainkan tahta kasih dan altar belas kasihan, yang dikuduskan oleh
darah Anak Domba Allah, yang di atasmu telah dikurbankan demi
keselamatan dunia.” Bunda Maria kemudian meninggalkan salib dan pulang
ke rumah. Tiba di sana, Bunda yang berduka mengarahkan pandangan ke
sekelilingnya, ia tak lagi melihat Yesus; bukan kehadiran Putranya yang
menyenangkan, melainkan kenangan akan hidup-Nya yang kudus dan wafat-Nya
yang keji yang hadir di hadapan matanya. Ia terkenang bagaimana ia
mendekap Putranya erat-erat ke dadanya di palungan di Betlehem;
percakapan-percakapan manis bersama-Nya sepanjang tahun-tahun yang
mereka lewatkan bersama di rumah di Nazaret: ia terkenang akan kasih
sayang mesra di antara mereka, tatapan kasih mereka, perkataan-perkataan
tentang kehidupan kekal yang meluncur dari bibir Ilahi-Nya; dan
kemudian terbayang akan peristiwa mengerikan yang ia saksikan pada hari
itu, semuanya hadir kembali di hadapannya. Paku-paku itu, mahkota duri,
ceceran daging Putranya, luka-luka yang merobek daging-Nya,
tulang-tulang yang menyembul, mulut yang ternganga, mata yang tak lagi
bercahaya, semuanya hadir kembali di hadapan matanya. Ah, betapa malam
itu nerupakan malam yang penuh dukacita bagi Maria! Bunda yang berduka
berpaling kepada St Yohanes dan berkata dengan sedih, “Ah Yohanes,
katakan, di manakah Guru-mu?” Ia kemudian bertanya kepada Maria
Magdalena, “Puteriku, katakan, di manakah kekasih hatimu? Ya Tuhan,
siapakah yang telah merenggut-Nya dari kami?” Bunda Maria menangis dan
semua yang hadir menangis bersamanya. Dan engkau, wahai jiwaku, tidak
meneteskan airmata! Ah, berpalinglah kepada Bunda Maria dan bersama St
Bonaventura katakan kepadanya, “Ya, Bundaku yang lemah lembut,
ijinkanlah aku menangis; engkau tak berdosa, akulah yang berdosa.”
Akhirnya, mohonlah kepadanya untuk menangis bersamanya, “Ijinkanlah aku
menangis bersamamu, ya Bunda.” Ia menangis karena cinta, engkau menangis
sedih karena dosa-dosamu. Dengan menangis, kiranya engkau beroleh
sukacita seperti dia, yang kisahnya kita baca dalam teladan berikut.
TELADAN
Pastor
Engelgrave menceriterakan tentang seorang religius yang begitu tersiksa
oleh skrupel (= kebimbangan batin) hingga ia terkadang hampir putus
asa; tetapi karena ia memiliki devosi mendalam kepada Bunda Dukacita, ia
senantiasa mohon perlindungan padanya dalam penderitaan batinnya, dan
merasa terhibur sementara ia merenungkan sengsaranya. Ajal menjelang dan
iblis menyiksanya jauh lebih hebat dari sebelumnya dengan skrupel, dan
berusaha menjatuhkannya dalam keputusasaan. Bunda yang berbelas kasihan,
melihat puteranya yang malang menderita demikian rupa, menampakkan diri
kepadanya dan berkata, “Dan engkau, puteraku, mengapakah engkau begitu
dikuasai oleh penderitaan? Mengapakah engkau begitu takut? Engkau telah
begitu sering menghibur hatiku dengan berbelas kasihan dalam dukacitaku.
Sekarang,” Bunda Maria menambahkan, “Yesus mengutusku untuk
menghiburmu; maka, tenanglah; bersukacitalah dan marilah bersamaku ke
surga.” Mendengar kata-kata penghiburan ini, religius yang saleh itu
dengan dipenuhi sukacita dan kepercayaan, menghembuskan napasnya yang
terakhir dalam damai.
DOA
Bundaku
yang berduka, aku tidak akan membiarkan engkau menangis seorang diri,
tidak, aku akan menemanimu dengan airmataku. Ijinkan aku mohon rahmat
ini daripadamu: perolehkanlah bagiku rahmat agar senantiasa ada dalam
benakku dan senantiasa ada dalam hatiku devosi kepada Sengsara Yesus dan
kepada Dukacitamu, agar sisa-sisa hariku boleh aku lewatkan dengan
menangisi dukacitamu, ya Bundaku yang lemah lembut, dan menangisi
Sengsara Penebus-ku. Penderitaan-penderitaan ini, aku yakin, akan
memberiku kepercayaan serta kekuatan yang aku butuhkan di saat ajalku,
agar aku tidak jatuh dalam keputusasaan menyadari begitu banyak dosa di
mana aku telah menghina Tuhan-ku. Penderitaan-penderitaan ini akan
mendatangkan bagiku pengampunan, ketekunan dan surga, yang aku rindu
untuk menikmatinya bersama engkau, dan agar dapatlah aku memadahkan
belas kasihan Allah yang tak terbatas untuk selama-lamanya. Demikianlah
yang aku harapkan, semoga terjadilah demikian. Amin. Amin.
DOA ST BONAVENTURA
Ya
Bunda, engkau yang dengan kelemah-lembutanmu menjerat hati umat
manusia, sudahkah engkau menjerat hatiku juga? Ya pencuri hati, bilakah
engkau memulihkan hatiku? Pimpinlah dan kuasailah hatiku bagaikan
milikmu sendiri; simpanlah hatiku dalam Darah Anak Domba dan
tempatkanlah di sisi Putramu. Maka, aku akan memperoleh apa yang aku
rindukan dan memiliki apa yang aku harapkan, sebab engkaulah harapan
kami. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar