
Dukacita Keenam

Lambung Yesus Ditikam dan Jenazah-Nya Diturunkan dari Salib

oleh: St. Alfonsus Maria de Liguori


“Acuh
tak acuhkan kamu sekalian yang berlalu? Pandanglah dan lihatlah, apakah
ada kesedihan seperti kesedihan yang ditimpakan Tuhan kepadaku?”
Jiwa-jiwa saleh, dengarkanlah apa yang dikatakan Bunda yang berduka
hari ini, “Anak-anakku terkasih, aku tidak berharap kalian menghiburku;
tidak, sebab jiwaku tak lagi mudah tersentuh oleh penghiburan di dunia
ini setelah wafat Putraku Yesus yang terkasih. Jika engkau hendak
menyenangkan hatiku, inilah yang aku minta dari kalian; pandanglah aku
dan lihatlah adakah kesedihan di dunia ini yang seperti kesedihanku,
menyaksikan Dia yang adalah jantung hatiku direnggut dariku dengan
keji.” Tetapi, Bunda yang berkuasa, oleh sebab engkau tidak hendak
dihibur dan engkau memiliki kerinduan yang begitu besar untuk menderita,
harus kukatakan kepadamu, bahwa bahkan dengan wafatnya Putramu,
dukacitamu belumlah berakhir. Pada hari ini engkau akan ditembusi oleh
pedang dukacita yang lain, sebilah tombak dengan keji akan ditikamkan
pada lambung Putramu yang telah wafat, dan engkau akan menerima-Nya
dalam pelukanmu setelah jenazah-Nya diturunkan dari salib. Sekarang kita
akan merenungkan dukacita keenam yang mendukakan Bunda yang malang ini.
Merenunglah dan menangislah. Sampai sekarang dukacita Maria menderanya
satu demi satu; pada hari ini seluruh dukacita itu bergabung menjadi
satu untuk menyerangnya.
Cukuplah
mengatakan kepada seorang ibu bahwa anaknya meninggal dunia untuk
menggoncangkan segala kasihnya. Sebagian orang, guna meringankan
dukacita seorang ibu, mengingatkannya akan kekecewaan yang suatu ketika
dilakukan oleh anaknya yang telah meninggal itu. Tetapi aku, ya Ratuku,
akankah aku berharap meringankan dukacitamu atas wafat Yesus? Kekecewaan
apakah yang pernah dilakukan-Nya terhadapmu? Sungguh, tidak ada. Ia
senantiasa mengasihimu, senantiasa mentaatimu, dan senantiasa
menghormatimu. Sekarang engkau telah kehilangan Dia, siapakah yang dapat
mengungkapkan kesedihan hatimu? Akankah engkau menjelaskannya, engkau
yang mengalaminya. Seorang penulis yang saleh mengatakan bahwa ketika
Penebus kita yang terkasih wafat, perhatian utama Bunda yang agung ini
adalah menemani dalam roh, jiwa Putranya yang terkudus dan
mempersembahkan-Nya kepada Bapa yang Kekal. “Kupersembahkan kepada-Mu,
ya Tuhanku,” pastilah Bunda Maria berkata demikian, “jiwa tak berdosa
dari PutraMu dan Putraku; Ia taat hingga wafat kepada-Mu; sudilah Engkau
menerima-Nya dalam pelukan-Mu. Keadilan-Mu telah dipuaskan sekarang,
kehendak-Mu telah digenapi; lihatlah, kurban agung demi kemuliaan-Mu
yang kekal telah dikurbankan.” Kemudian, sambil memandangi tubuh
Putranya Yesus yang tak bernyawa, ia berkata, “O bilur-bilur, o
bilur-bilur cinta, aku menyembahmu, dan dalam engkau aku bersukacita;
sebab melalui engkau, keselamatan dianugerahkan kepada dunia. Engkau
akan tinggal menganga pada tubuh Putraku, dan menjadi pengungsian bagi
mereka yang mohon perlindungan padamu. Oh, betapa banyak jiwa-jiwa,
melalui engkau akan beroleh rahmat pengampunan atas dosa-dosa mereka,
dan olehmu dikobarkan dalam kasih kepada Allah yang Mahabaik!”
Agar
tak mengganggu kegembiraan Sabat Paskah, orang-orang Yahudi menghendaki
agar tubuh Yesus diturunkan dari salib; tetapi, karena hal ini tak
dapat dilakukan kecuali para terhukum telah mati, para prajurit datang
dengan palu besi untuk mematahkan kaki-Nya, seperti yang telah mereka
lakukan pada dua penyamun yang disalibkan bersama-Nya. Bunda Maria masih
menangisi kematian Putranya saat ia melihat prajurit-prajurit
bersenjata ini maju mendekati Yesus. Melihat ini, Bunda gemetar
ketakukan, lalu berseru, “Ah, Putraku sudah wafat; berhentilah
menganiaya-Nya; janganlah siksa aku lagi, Bunda-Nya yang malang.” Ia
mohon pada mereka, tulis St Bonaventura, “untuk tidak
mematahkan kaki-Nya.” Tetapi sementara ia berkata, ya Tuhan! Ia melihat
seorang prajurit menghunus tombaknya dan menikamkannya pada lambung
Yesus, “seorang dari antara prajurit itu menikam lambung-Nya dengan tombak, dan segera mengalir keluar darah dan air.” Saat tombak dihujamkan, salib berguncang, dan, seperti yang kemudian dinyatakan kepada St Brigitta,
hati Yesus terbelah menjadi dua. Dari sanalah mengalir darah dan air;
sebab hanya sedikit tetes-tetes darah itu saja yang masih tersisa, dan
bahkan itu pun rela dicurahkan oleh Juruselamat kita agar kita mengerti
bahwa tak ada lagi darah-Nya yang masih tersisa yang tak diberikan-Nya
kepada kita. Luka akibat tikaman itu menganga pada tubuh Yesus, tetapi
Bunda Marialah yang menderita sakitnya. “Kristus,” kata Lanspergius yang
saleh, “berbagi sengsara ini dengan Bunda-Nya; Ia yang menerima
penghinaan, Bunda-Nya yang menanggung sengsaranya.” Para bapa kudus
berpendapat bahwa inilah sesungguhnya pedang yang dinubuatkan Nabi
Simeon kepada kepada Santa Perawan: suatu pedang, bukan pedang materiil,
melainkan pedang dukacita, yang menembus jiwanya yang terberkati yang
tinggal dalam hati Yesus, di mana ia senantiasa tinggal. Dengan
demikian, St Bernardus mengatakan, “Tombak yang ditikamkan
ke lambung-Nya menembus jiwa Santa Perawan yang tak pernah meninggalkan
hati Putranya.” Bunda Allah sendiri mengungkapkan hal yang sama kepada
St Brigitta, “Ketika tombak dicabut, ujungnya tampak merah karena darah;
melihat hati Putraku terkasih ditikam, aku merasa seakan-akan hatiku
sendiri juga ditikam.” Malaikat menyampaikan kepada santa yang sama,
“begitu dahsyat dukacita Maria, hingga hanya karena mukjizat
penyelenggaraan Ilahi, ia tidak mati.” Dalam dukacitanya yang lain,
setidak-tidaknya ada Putranya yang berbelas kasihan kepadanya; tetapi
sekarang Ia bahkan tak ada untuk berbelas kasihan kepadanya.
Bunda
yang berduka, khawatir kalau-kalau aniaya yang lain masih akan
ditimpakan atas Putranya, mohon pada Yusuf dari Arimatea untuk meminta
jenazah Yesus Putranya dari Pilatus, hingga setidak-tidaknya setelah Ia
wafat, ia dapat menjaga serta melindungi-Nya dari penghinaan lebih
lanjut. Yusuf pergi dan menyampaikan kepada Pilatus kesedihan dan
harapan Bunda yang berduka ini. St Anselmus yakin bahwa
belas kasihan terhadap sang Bunda telah melunakkan hati Pilatus dan
menggerakkannya untuk memberikan jenazah Juruselamat kita. Tubuh Yesus
kemudian diturunkan dari salib. O Perawan tersuci, setelah engkau
memberikan Putramu kepada dunia dengan cinta yang begitu besar demi
keselamatan kami, lihatlah, dunia sekarang mengembalikan-Nya kepadamu;
tetapi, ya Tuhan, dalam keadaan bagaimanakah engkau menerimanya? Ya
dunia, kata Maria, bagaimana engkau mengembalikan-Nya kepadaku? “Putraku
berkulit putih kemerah-merahan, tetapi engkau mengembalikan-Nya
kepadaku dalam keadaan hitam lebam oleh bilur-bilur dan merah - ya!
tetapi merah karena luka-luka yang engkau timpakan atas-Nya. Ia elok dan
menawan; tetapi sekarang tak nampak lagi keelokan pada-Nya; tak ada
lagi semarak-Nya. Kehadiran-Nya memikat semua orang; sekarang Ia
menimbulkan kengerian pada semua yang melihat-Nya.” “Oh, betapa banyak
pedang,” kata St Bonaventura, “yang menembusi jiwa Bunda yang malang ini
ketika ia menerima jenazah Putranya dari salib! Marilah sejenak
membayangkan dukacita mendalam yang dialami ibu manapun ketika menerima
tubuh anaknya yang tak bernyawa dalam pelukannya. Dinyatakan kepada St
Brigitta bahwa tiga tangga disandarkan pada salib untuk menurunkan Tubuh
Kudus; para murid yang kudus pertama-tama mencabut paku-paku dari
tangan dan kaki-Nya, dan menurut Metaphrastes, menyerahkan paku-paku itu
kepada Maria. Kemudian seorang dari mereka menopang tubuh Yesus bagian
atas sementara murid yang lain menopang tubuh Yesus bagian bawah;
demikianlah Ia diturunkan dari salib. Bernardinus de Bustis
menggambarkan Bunda yang berduka, sementara berdiri, merentangkan kedua
tangannya untuk merengkuh Putranya terkasih; ia memeluk-Nya dan kemudian
duduk bersimpuh di kaki salib. Mulut-Nya ternganga, mata-Nya tanpa
cahaya. Bunda Maria lalu memeriksa daging-Nya yang terkoyak dan
tulang-tulang-Nya yang menyembul; ia melepaskan mahkota duri dan
memandangi luka-luka mengerikan yang diakibatkan mahkota duri pada
kepala-Nya yang kudus; ia mengamati lubang-lubang di tangan dan kaki-Nya
seraya berkata kepada-Nya, “Ah, Putraku, seberapa besarnyakah kasih-Mu
kepada manusia; kesalahan apakah yang telah Engkau lakukan terhadap
mereka hingga mereka menyiksa-Mu demikian keji? Engkau adalah Bapaku,”
lanjut Bernardinus de Bustis atas nama Maria, “Engkau adalah saudaraku,
mempelaiku, sukacitaku, kemuliaanku; Engkau adalah segala-galanya
bagiku.” Putraku, tengoklah dukacitaku, pandanglah aku; hiburlah aku;
tetapi tidak, Engkau tak lagi melihatku. Berbicaralah, sepatah kata
saja, dan hiburlah aku; tetapi Engkau tak lagi berbicara, sebab Engkau
telah wafat. Kemudian, berpaling pada alat-alat siksa yang keji, ia
berkata, O mahkota duri yang keji, O paku-paku yang kejam, O tombak yang
tak berbelas kasihan, bagaimanakah, bagaimana mungkin kalian menganiaya
Pencipta-Mu? Tetapi, mengapakah aku berbicara tentang mahkota duri dan
paku? Astaga! Para pendosa, serunya, kalianlah yang telah memperlakukan
Putraku begitu keji.
Demikianlah
Bunda Maria berbicara dan mengeluh atas kita. Tetapi apakah yang hendak
ia katakan sekarang, apakah ia masih dapat tergerak oleh penderitaan?
Bagaimanakah kiranya kesedihan hatinya melihat manusia, walaupun
Putranya telah wafat bagi mereka, masih terus-menerus menyiksa dan
menyalibkan-Nya dengan dosa-dosa mereka! Marilah kita, setidak-tidaknya,
berhenti menyiksa Bunda yang berduka ini, dan jika kita sampai sekarang
masih mendukakan hatinya dengan dosa-dosa kita, marilah kita, saat ini
juga, melakukan segala yang dikehendakinya. Bunda kita berkata,
“Kembalilah, kalian yang berdosa, kepada hati Yesus.” Para pendosa,
kembalilah kepada hati Yesus yang terluka; kembalilah sebagai seorang
peniten, dan Ia akan menyambutmu. “Larilah dari Dia kepada Dia,” ia
melanjutkan perkataannya bersama Abbas Guarric, “dari Hakim kepada
Penebus, dari Pengadilan kepada Salib.” Bunda Maria sendiri
mengungkapkan kepada St Brigitta bahwa “ia menutup mata Putranya ketika
tubuh-Nya diturunkan dari salib, tetapi ia tak dapat menangkupkan
tangan-tangan-Nya.” Dengan demikian Yesus Kristus ingin kita mengetahui
bahwa Ia rindu tetap dengan tangan-tangan-Nya terbuka menerima semua
orang berdosa yang kembali kepada-Nya. “Oh, dunia,” lanjut Bunda Maria,
“lihatlah, masamu adalah masa bagi para kekasih.” “Sekarang, setelah
Putraku wafat demi menyelamatkanmu, tak akan ada lagi bagimu masa
ketakutan, melainkan masa kasih - suatu masa untuk mengasihi-Nya, Ia
yang guna menunjukkan kasih-Nya kepadamu rela menanggung sengsara yang
begitu hebat.” “Hati Yesus,” kata St Bernardus, “ditikam, agar melalui
luka-luka-Nya yang nampak itu, luka-luka kasih-Nya yang tak nampak
menjadi kelihatan.” “Jadi, jika,” Bunda Maria menyimpulkan dengan
kata-kata Beato Raymond Jordano, “Putraku, oleh karena kasih-Nya yang
begitu besar, rela lambung-Nya ditikam, agar Ia dapat memberikan
hati-Nya kepada kalian, maka sudah selayaknyalah, jika kalian
membalas-Nya dengan juga memberikan hati kalian kepada-Nya.” Dan jika
kalian rindu, ya putera-puteri Maria, untuk menemukan tempat dalam hati
Yesus, tanpa takut ditolak, “pergilah,” kata Ubertino da Casale,
“pergilah bersama Maria; karena ia akan memperolehkan rahmat bagi
kalian.” Mengenai hal ini, kalian dapat melihat buktinya melalui teladan
indah berikut ini.
TELADAN
Dikisahkan,
adalah seorang pendosa malang yang, di antara kejahatan-kejahatan lain
yang dilakukannya, telah pula membunuh ayah dan saudara laki-lakinya,
dan karena itu ia menjadi seorang pelarian. Suatu hari di Masa
Prapaskah, ia mendengarkan khotbah imam tentang Kerahiman Ilahi. Maka,
pergilah ia mengakukan dosa-dosanya kepada imam pengkhotbah. Bapa
pengakuan, mendengar dosa-dosanya yang luar biasa berat, memintanya
pergi ke hadapan SP Maria Bunda Dukacita, agar Bunda Maria dapat
memperolehkan baginya rahmat tobat mendalam dan pengampunan atas
dosa-dosanya. Orang berdosa itu patuh dan mulai berdoa; ketika,
lihatlah, tiba-tiba ia roboh dan tewas seketika karena kesedihan yang
sangat mendalam. Keesokan harinya, saat imam, dalam intensi Misa,
mengunjukkan doa baginya, seekor merpati putih sekonyong-konyong muncul
dalam gereja dan menjatuhkan sehelai kartu di kaki imam. Imam
memungutnya dan mendapati tulisan berikut tertera di atasnya, “Jiwa
almarhum, saat meninggalkan raganya, langsung menuju surga. Teruslah
engkau menyampaikan khotbah tentang Kerahiman Ilahi yang tak terbatas.”
DOA
O
Perawan yang berduka! Oh, jiwa yang sarat dengan kebajikan, namun juga
sarat dengan dukacita, karena dukacita yang satu dan yang lainnya saling
bergantian mendera hatimu yang berkobar-kobar dengan kasih kepada
Tuhan, sebab engkau hanya mengasihi Dia saja; ah Bunda, kasihanilah aku,
sebab bukannya mengasihi Tuhan, malahan aku menghina-Nya terus-menerus.
Dukacitamu, ya Bunda, membangkitkan dalam diriku harapan akan
pengampunan. Tetapi ini belumlah cukup; aku rindu mengasihi Tuhan-ku;
dan bagaimanakah aku dapat memperoleh kasih ini lebih baik selain
melalui engkau, yang adalah Bunda Cinta Kasih? Ah, Bunda Maria, engkau
menghibur semua orang, hiburlah aku juga. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar