Surat dari Seorang Pastor Paroki
Saudara dan Saudari terkasih,
Kalian meminta saya untuk menjadi saksi pernikahan kalian, dan saya senang bahwa kalian ingin menikah dalam Gereja. Sebelum memberikan jawab perihal menjadi saksi pernikahan kalian, saya ingin sedikit bertukar pikiran dengan kalian berdua.
Saya yakin kalian tahu bahwa Gereja tidak setuju akan hidup bersama sebelum perkawinan, dan saya harap kalian tidak terkejut bahwa saya juga tidak menyetujuinya. Dengan meminta saya untuk menjadi saksi pernikahan kalian dengan perayaan pernikahan seperti pada umumnya, sesungguhnya kalian menempatkan saya dalam posisi yang sulit. Saya merasa bahwa jika saya menjadi saksi atas perjanjian perkawinan kalian dalam suatu perayaan besar, maka sesungguhnya saya memberikan persetujuan tak tertulis atas cara hidup kalian sekarang. Saya akan memperlakukan kalian sama seperti saya memperlakukan pasangan-pasangan yang tidak hidup bersama sebelumnya. Saya merasa tidak enak dengan hal itu, sebab sesungguhnya saya ingin mendorong kaum muda untuk hidup seturut standard Kristen Katolik sebelum pernikahan.
Ijinkanlah saya menjelaskan mengapa saya berpikir bahwa apa yang kalian lakukan itu adalah salah. Saya tak hendak berbicara sekedar dari sudut pandang perintah Tuhan, meski saya yakin apa yang kalian lakukan bertentangan dengan itu. Sebaliknya, saya hendak berbicara mengenai hubungan kalian dengan komunitas, baik komunitas sipil maupun komunitas gereja. Kedua komunitas ini tidak setuju pasangan-pasangan hidup bersama sebelum pernikahan.
Dengan cara hidup kalian, sebenarnya kalian menyatakan terus terang kepada publik bahwa kalian tidak ambil peduli akan apa yang dipikirkan kedua komunitas ini. Namun demikian, sekarang kalian datang kepada saya, pejabat resmi dalam komunitas gereja, dan meminta saya untuk memperlakukan kalian sama seperti saya memperlakukan pasangan-pasangan yang menghormati adat kebiasaan dan norma-norma komunitas.
Padahal sebaliknya, kalian telah hidup bersama seolah kalian telah menikah, dengan demikian sebenarnya kalian mengatakan kepada komunitas, kepada teman dan sahabat, kepada sanak keluarga, bahwa kalian ingin diperlakukan seolah kalian telah menikah, setidaknya kalian ingin hidup dengan cara demikian. Tetapi sekarang, kalian datang dan mengatakan bahwa kalian ingin diperlakukan sebagai pasangan yang belum menikah dan menyelenggarakan suatu perayaan besar pada kenyataan bahwa sekarang kalian menikah. Ada semacam kontradiksi di sini, dan hal ini menempatkan saya pada posisi yang sulit. Jika saya mengatakan ya, maka seolah saya mengatakan ok pada apa yang selama ini kalian lakukan. Jika saya mengatakan tidak, maka saya menolak menolong kalian untuk kembali ke dalam komunitas.
Saya berpendapat bahwa hidup bersama dan hubungan seksual sebelum pernikahan adalah salah. Hubungan seksual merupakan tanda dan simbol penyerahan diri total seorang kepada yang lain. Penyerahan diri total dilakukan dalam perjanjian perkawinan di mana dua orang saling memberikan diri secara publik dan tak terceraikan satu sama lain sepanjang hidup mereka. Melakukan hubungan seksual sebelum membuat penyerahan diri dan komitmen yang tetap itu secara publik dan resmi dalam perkawinan adalah menyelewengkan simbol sakral yang dilambangkan oleh hubungan seksual itu. Saling memberikan diri kalian dalam tindakan inilah yang melambangkan penyerahan diri total, tetapi yang dalam hal ini dapat ditahan terlebih dahulu sebab kalian belum saling memberikan diri kalian satu sama lain dalam perkawinan. Kita tidak suka pada orang-orang yang memberikan hadiah, tetapi kemudian mengambilnya kembali. Bahkan anak-anak melihat hal ini sebagai salah; tetapi seks pra-nikah juga dapat dengan mudah menjadi hadiah yang demikian itu, hadiah yang dapat diambil kembali.
Hukum Tuhan mengenai perilaku seksual tidaklah aneh ataupun berlebihan. Hukum-hukum itu merupakan pedoman akan makna mendalam seksualitas dalam hidup kita. Hukum-hukum itu menghantar kita mengenali nilai luhur kesakralan seksualitas kita dan secara langsung menentang pandangan seksualitas yang murahan, yang egois dan dangkal, yang begitu banyak ditemukan dalam budaya kita.
Saya pikir saya dapat memahami tekanan-tekanan sosial dan ekonomi dan juga perasaan-perasaan kalian sendiri yang menghantar kalian untuk hidup bersama. Saya ingin mendengar alasan-alasan kalian, tetapi saya yakin bahwa suatu penyelesaian lain pastilah dapat ditemukan yang akan mengijinkan saya menjadi saksi perkawinan kalian.
Saya akan senang menjadi saksi pernikahan kalian dalam suatu upacara yang sederhana dengan dua saksi dan mungkin keluarga terdekat kalian. Inilah yang akan saya lakukan apabila kalian telah melangsungkan perkawinan secara sipil dan sekarang berharap dapat mensahkan perkawinan kalian dalam Gereja.
Dengan hidup bersama, seolah kalian mengatakan, “Kami ingin seperti pasangan yang telah menikah.” Saya akan senang sekali memperlakukan kalian sebagai pasangan yang telah menikah dan menjadi saksi atas perjanjian perkawinan kalian secara sederhana dan tenang. Tetapi, saya sungguh menghadapi kesulitan dalam memperlakukan kalian seperti pasangan lainnya yang hendak menikah, yang tidak hidup bersama sebelumnya.
Suatu penyelesaian lain yang mungkin bagi kalian adalah berpisah dari sejak sekarang hingga pernikahan. Itu akan merupakan suatu pernyataan publik bagi keluarga, sahabat dan teman, dan juga saya bahwa kalian berusaha berpacaran dengan cara Katolik.
Saya berharap kalian merenungkan hal-hal di atas. Saya juga berharap kalian akan segera datang menemui saya kembali dan kita dapat bersama-sama menemukan pemecahan masalah yang akan memungkinkan saya menjadi saksi perkawinan kalian.
Saya senang bahwa kalian saling mengasihi satu sama lain, dan bahwa kalian ingin melangsungkan pernikahan. Saya berharap bahwa kita dapat mengatasi kesulitan yang saya hadapi dengan cara hidup kalian sekarang ini.
Saya berharap segera mendengar kabar dari kalian.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar