Impotensi dan Kemandulan
Impotensi dan Kemandulan

oleh: P. William P. Saunders *
Saya dan teman saling bertukar pikiran mengenai apakah seorang yang tak dapat memperanakkan keturunan dapat menikah dalam Gereja Katolik. Bagaimanakah ajaran Gereja mengenai masalah ini?
~ seorang pembaca di Crystal City
Pertanyaan mengenai dapat tidaknya seorang yang memiliki ketidakmampuan untuk memperanakkan keturunan masuk dalam perkawinan, mengandung dua dimensi: impotensi dan kemandulan. Sebelum membahas masalah ini, marilah pertama-tama kita mengingat kembali keyakinan kita mengenai perkawinan seperti diwahyukan Tuhan. Dalam Kitab Kejadian, setelah Allah yang Mahakuasa menciptakan laki-laki dan perempuan seturut gambaran dan citra-Nya Sendiri, kita membaca, “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: `Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu'” (Kej 1:28). Dalam kisah penciptaan yang kedua, Adam berkata mengenai perempuan Hawa yang diciptakan dari dagingnya sendiri oleh Allah, “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki”; kemudian selanjutnya kita baca, “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kej 2:23-24). Sepanjang Perjanjian Lama, kita melihat Allah menganggap baik bahwa suami dan isteri menjadi satu, mengungkapkan persatuan perkawinan mereka dalam kasih suami isteri, dan ikut ambil bagian dalam karya kasih penciptaan Allah (= God's creative love). Sebab itu, perkawinan, dengan rahmat persatuan penuh cinta kasih (= unitive) dan pembiakan (= procreative), merupakan gambaran dari perjanjian, yakni ikatan hidup dan kasih antara Tuhan dan umat-Nya.
Tuhan kita menegaskan ajaran ini dalam Injil. Ketika ditanya mengenai perceraian, Yesus bersabda, “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” Di samping itu, St Paulus mempergunakan gambaran perkawinan untuk menjelaskan persatuan antara Kristus dan Gereja. Dengan menjunjung tinggi wahyu ini, kita sebagai orang-orang Katolik dengan tepat meyakini perkawinan sebagai suatu sakramen.
Berdasarkan ajaran ini, Katekismus Gereja Katolik menegaskan apa yang seturut tradisi disebut “tiga kebajikan perkawinan”: tidak terceraikan, kesetiaan dan kesuburan (bdk No. 1643-1654). “Kebajikan” ini diungkapkan secara verbal dalam Perjanjian Perkawinan yang diucapkan dalam Ritus Perkawinan ketika pasangan saling menyatakan kasih total dan tak bersyarat mereka satu sama lain. “Kebajikan” ini juga diungkapkan secara fisik ketika pasangan menyempurnakan perkawinan mereka dengan persetubuhan (= consummatio). Sebab itu, agar pasangan dapat masuk secara sah ke dalam Sakramen Perkawinan, mereka wajib memberikan bukan hanya persetujuan bebas dan sepenuhnya dalam saling bertukar janji perkawinan, melainkan juga menyempurnakan perkawinan mereka dengan tindakan kasih suami isteri. Selain itu, kasih suami isteri terus menjadi tanda persatuan sakramental mereka.
Dengan pemahaman ini, marilah kita membahas masalah impotensi. Seorang laki-laki atau seorang perempuan yang menderita impotensi, entah secara fisik ataupun psikologis, tidak dapat masuk dalam perkawinan sebab ia tidak dapat menyempurnakan perkawinannya secara fisik. Menurut Kitab Hukum Kanonik, “Impotensi untuk melakukan persetubuhan yang ada sejak sebelum nikah dan bersifat tetap, entah dari pihak pria ataupun dari pihak wanita, entah bersifat mutlak ataupun relatif, menyebabkan perkawinan tidak sah dari kodratnya sendiri” (No. 1084.1). Singkat kata, seorang yang impoten tidak dapat masuk ke dalam perkawinan secara sah. Mudahnya, dalam suatu perkawinan harus ada consummatio. (Patut dicatat bahwa impotensi yang terjadi sesudah consummatio tidak berdampak atas sahnya perkawinan; sebagai contoh, jika seorang suami di kemudian hari menderita kanker prostrat dan menjalani operasi atau perawatan yang menjadikannya impoten, maka perkawinannya tetap sah.)
Sebaliknya, kemandulan, menyangkut ketidakmampuan untuk memperanakkan keturunan. Di sini, pasangan dapat saling mengungkapkan kasih suami isteri satu sama lain, tetapi salah satu atau keduanya secara fisik tidak dapat memperanakkan keturunan. Namun demikian, kemandulan tidak menghalangi seorang untuk secara sah masuk dalam perkawinan. Kitab Hukum Kanonik menegaskan, “Kemandulan tidak melarang ataupun menggagalkan perkawinan” (No. 1084.3). Memahami penderitaan yang ditanggung oleh pasangan yang mandul, Katekismus Gereja Katolik menyatakan, “Suami isteri yang tidak dikarunia Tuhan dengan anak-anak, masih dapat menjalankan kehidupan berkeluarga yang berarti secara manusiawi dan Kristen. Perkawinan mereka dapat menghasilkan dan memancarkan cinta kasih, kerelaan untuk membantu dan semangat berkurban” (No. 1654). Dalam hal ini, pasangan dapat menyempurnakan perkawinan mereka, hanya saja mereka tak dapat memperanakkan keturunan.
Impotensi mendatangkan halangan perkawinan, sementara kemandulan tidak. Impotensi dan kemandulan merupakan masalah yang jelas berbeda. Patutlah kita berdoa dan mendukung mereka yang menderita karena salib-salib ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar