ALL ABOUT CATHOLIC: Bagaimanakah Proses Pembatalan Perkawinan?

Bagaimanakah Proses Pembatalan Perkawinan?

Bagaimanakah Proses Pembatalan Perkawinan?
oleh: P. Antonius Dwi Joko, Pr *

Anak pertama saya perempuan dinikahi seorang pujaannya 3 tahun lalu. Mereka berdua sebelumnya sudah berpacaran lebih kurang 8 tahun. Waktu pernikahan yang dilangsungkan secara sederhana juga dihadiri oleh orangtua pihak laki-laki. Namun tidak ada yang menyangka sama sekali setelah usia perkawinan menginjak 2 minggu, menantu saya itu pergi tanpa pesan. Selama ini kami tidak tahu di mana dia berada dan kemana dia pergi. Kami sudah mencoba menghubungi sanak saudara dari menantu saya itu, namun tidak ada yang tahu. Jadi selama 3 tahun ini anak saya terkatung-katung dalam ketidakjelasan. Beberapa hari lalu ada rencana dari anak perempuan saya untuk konsultasi dengan Romo dan mengajukan pembatalan perkawinan. Apa bisa disetujui dengan kasus yang dialami oleh anak saya itu? Apa syaratnya? Berapa lama, andaikata pembatalan perkawinan itu bisa terjadi? Apa yang harus kami perbuat sekarang untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan?
~ Anastasia (samaran) - Surabaya

Pertama-tama perlu dimengerti bahwa setiap orang, baik yang dibaptis maupun yang tidak dibaptis, memiliki hak mengajukan kasus untuk diproses dalam Pengadilan Gereja (kan. 1476). Sebelum disampaikan kepada Pengadilan Gereja, kasus perkawinan itu sebaiknya disampaikan kepada Pastor Paroki setempat. Setelah mendengarkan kasus yang diajukan, diharapkan pastor berusaha sedapat mungkin menyelesaikannya secara pastoral (kan. 1676). Barangkali perkawinan yang bermasalah tersebut masih dapat diselesaikan secara positif dengan rekonsiliasi.

Seandainya rekonsiliasi menemui jalan buntu, hendaknya pastor mengajak yang bersangkutan untuk mencari dan menemukan alasan yang memadai (caput nullitatis), agar kasus itu dapat diajukan ke Pengadilan Gereja. Alasan yang dimaksud adalah cacat yang memungkinkan suatu perkawinan dinyatakan tidak ada melalui keputusan hakim Pengadilan Gereja (kan. 1459). Cacat itu harus ada atau terjadi sebelum (precedens) atau sewaktu (concommitans) perkawinan dilangsungkan. Apabila cacat semacam itu ada, kasus itu disebut memiliki dasar yang cukup untuk diajukan ke Pengadilan Gereja (humus boni iuris).

Langkah berikutnya, yang bersangkutan diminta dan didampingi untuk membuat libellus, yaitu: permohonan tertulis agar kasusnya diproses dan diselesaikan oleh Pengadilan Gereja. Dalam libellus harus berisikan atau dituliskan dengan jelas: (1) Pengadilan Gereja yang dituju, (2) petitum (apa yang diminta), (3) causa petendi (dasar atau alasan hukum beserta kenyataan dan bukti secara umum atas apa yang diminta), (4) siapa yang meminta dan pasangannya yang dilengkapi dengan domisili serta quasi-domisili, dan (5) tempat, tanggal, bulan, dan tahun permohonan itu dibuat. Selain itu, harus disertakan juga daftar nama para saksi yang mungkin dapat dimintai keterangan tentang cacat perkawinan yang telah disebut dalam libellus tersebut.

Alasan yang memungkinkan perkawinan dinyatakan tidak ada (caput nullitatis) meliputi: (1) tak terpenuhinya Forma Canonica, (2) adanya halangan yang menggagalkan dan belum atau tidak didispensasi, dan (3) cacat kesepakatan atau konsensus.

Cacat kesepakatan atau konsensus mencakup: (1) kurangnya pengetahuan tentang perkawinan, (2) kurangnya kemauan atau kehendak bebas untuk menikah, dan (3) kurangnya kemampuan karena gangguan emosional atau mental.

Ketiga hal yang tercakup dalam cacat kesepakatan itu masing-masing terbagi dalam tiga perincian berikut. Orang dikatakan memiliki cacat kesepakatan atau konsensus karena kurangnya pengetahuan apabila: (1) tidak tahu (tidak memiliki pengetahuan) bahwa perkawinan adalah kesatuan tetap antara seorang pria dan seorang wanita yang terarah kepada kelahiran anak melalui hubungan seksual yang normal (kan. 1096). Orang demikian disebut ignorans. Kurangnya pengetahuan bisa juga terjadi apabila (2) orang memiliki pengertian yang salah atau keliru atas orang atau kualitas orang yang sungguh-sungguh dan secara langsung diharapkan (kan. 1097). Orang yang demikian biasa dikatakan mengalami error. Akhirnya kurangnya pengetahuan terjadi apabila (3) karena tipu muslihat, orang melakukan kesepakatan atau konsensus dan hal itu pada dasarnya sangat berat serta sangat mengganggu hidup perkawinan (kan. 1098). Orang yang demikian adalah kurban dari dolus provocatus.

Orang dinilai memiliki cacat kesepakatan atau konsensus karena kurangnya kemauan atau kehendak bebas apabila (1) kesepakatan atau konsensus yang diberikan bersyarat dengan menunjuk sesuatu yang belum ada atau belum terjadi (kan. 1102). Kurangnya kemauan atau kehendak bebas terjadi pula apabila (2) menyatakan kesepakatan atau konsensus tetapi dalam hatinya menghendaki secara positif hal yang berbeda atau sebaliknya (kan. 1101). Orang yang demikian biasanya di dalam hatinya menghendaki untuk: tidak setia, tidak memiliki keturunan, atau tidak menganggap kesatuan perkawinan itu seumur hidup. Hal ini biasa disebut simulatio atau exclusio. Kurangnya kemauan atau kehendak bebas terjadi apabila (3) menyatakan kesepakatan atau konsensus karena paksaan dan ketakutan berat (kan. 1103). Hal ini biasanya disebut vis et metus gravis.

Orang dianggap memiliki cacat kesepakatan atau konsensus karena kurangnya kemampuan apabila (1) tidak memiliki kemampuan rasio atau akal-budi yang memadai (kan. 1095, n. 1). Biasanya hal ini tampak pada orang yang mengalami gangguan atau cacat mental. Kurangnya kemampuan terjadi pula pada orang yang (2) tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk menilai hak dan kewajiban pokok perkawinan (kan. 1095, n. 2). Hal ini pada umumnya tampak dalam ketidakmatangan atau ketidakdewasaan pribadi. Akhirnya, kurangnya kemampuan terjadi apabila orang (3) karena alasan psikis tak mampu memenuhi kewajiban pokok perkawinan (kan. 1095, n. 3). Alasan psikis di sini biasanya berupa kelainan atau penyimpangan kejiwaan.

Mengenai permasalahan puteri ibu, saya anjurkan untuk berkonsultasi dengan pastor. Dari konsultasi tersebut diharapkan bisa ditemukan sebab-sebab suami pergi dan tak kembali, ataupun permasalahan-permasalahan yang ada, dan dari situ akan terbantu untuk menemukan cacat perkawinan dan pembuatan permohonan tertulis (libellus). Soal berhasil tidaknya dan berapa lama proses akan berlangsung, tentu tergantung banyak faktor. Bila majelis hakim telah sampai pada kepastian moral dan hukum tentang tidak sahnya perkawinan tersebut, maka majelis akan memberikan putusan affirmatif. Putusan ini belum mempunyai kekuatan hukum, karenanya semua akta proses akan dikirim ke Tribunal banding. Bila Tribunal banding meratifikasi putusan Tribunal tingkat satu, maka putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum, karenanya yang bersangkutan bebas untuk melangsungkan perkawinan baru.

Demikian penjelasan dari kami. Semoga bermanfaat. Tuhan memberkati.
* Vikaris Yudisial Keuskupan Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright © ALL ABOUT CATHOLIC Urang-kurai