St Padre Pio dari Pietrelcina

ST PADRE PIO DAN MALAIKAT PELINDUNG
Padre
Lino mengatakan, “Aku meminta malaikat pelindungku untuk menyampaikan
kepada Padre Pio permohonan doa bagi seorang wanita yang sakit parah,
tetapi tampaknya tak terjadi perubahan apapun. Ketika aku berjumpa
dengan Padre Pio, aku bertanya kepadanya, `Padre, saya minta malaikat
pelindung saya untuk menyampaikan permohonan doa bagi seorang wanita
yang sakit parah… apakah mungkin ia tidak melakukannya?' Padre Pio
menjawab, `Apakah engkau percaya bahwa malaikat pelindungmu tidak taat
seperti engkau dan aku?'”
Seorang
pengacara Italia sedang mengendarai mobilnya pulang dari Bologna. Dalam
mobil FIAT 1100 itu ada pula isteri dan kedua anak mereka. Tengah
perjalanan, pengacara tersebut merasa sangat lelah letih. Ia minta
puteranya, Guido, untuk menggantikannya, tetapi puteranya itu tidak
menjawab, sebab ia tertidur. Beberapa kilometer kemudian, dekat gerbang
St. Lazzaro, pengacara itu pun tertidur juga. Ketika terjaga, ia
tersadar bahwa mereka berada tak jauh dari Eternity. Artinya, sementara
ia tidur, ia telah mengendarai mobilnya beberapa kilometer. Ia panik dan
berseru, “Siapakah yang mengemudikan mobil? Apa yang telah terjadi?”
tetapi tak seorang pun dapat menjawab dia. Guido, yang ada di sebelah
kanannya, terbangun dan mengatakan bahwa ia tertidur pulas. Isterinya
dan anaknya yang kecil terheran-heran sekaligus kagum. Mereka
menceritakan bahwa ia mengemudikan mobil dengan cara yang berbeda dari
biasanya. Suatu kali mobil hendak bertabrakan dengan mobil lain, tetapi
pada detik-detik terakhir mobil dapat menghindarkan diri dari kecelakaan
dengan gerakan yang mulus sempurna. Cara mobil membelok juga lain dari
biasanya. Tetapi, lebih dari itu, isterinya mengatakan, “Seringkali
engkau tampak bagai patung dan engkau tidak menjawab
pertanyaan-pertanyaan kami.” Pengacara pun menyahut, “Aku tak menjawab
karena aku tidur! Aku tertidur sepanjang limabelas kilometer. Aku tak
merasakan apa-apa sebab aku terlelap… tetapi, siapakah yang mengemudikan
mobil? Siapakah yang menghindarkan kita dari malapetaka?” Beberapa
bulan kemudian, misteri itu pun terungkap kala sang pengacara
mengunjungi St. Giovanni Rotondo. Begitu ia berjumpa dengan Padre Pio,
Padre menegurnya, “Engkau tertidur dan malaikat pelindungmu yang
mengemudikan mobil.”
Seorang
pria mengisahkan, “Seringkali Padre Pio berhenti di sakristi guna
menyapa anak-anak rohani serta teman-temannya dengan mencium mereka. Aku
memandang dengan cemburu yang saleh kepada mereka yang begitu beruntung
itu, sembari berpikir, `Diberkatilah dia! Andai aku adalah dia!
Diberkatilah! Diberkatilah dia!' Pada Hari Natal 1958, aku berlutut di
hadapan Padre Pio untuk mengaku dosa. Sesudahnya, aku memandang
kepadanya dan dengan penuh emosi bertanya, `Padre, hari ini adalah Hari
Natal, bolehkah aku mengucapkan Selamat Natal kepada Padre dengan sebuah
ciuman?' Dan ia, dengan senyum manis yang tak dapat kuungkapkan dengan
goresan pena, berkata kepadaku, `Cepatlah sedikit anakku, jangan buat
aku menunggu!' Padre juga memelukku. Aku menciumnya; kemudian aku keluar
dari kamar pengakuan dalam luapan sukacita, diliputi bahagia surgawi.
Dan apakah yang dapat kukatakan mengenai pukulan-pukulan kecil di
kepala? Setiap kali, sebelum meninggalkan St. Giovanni Rotondo, aku
ingin Padre Pio memberiku suatu tanda kasih yang istimewa. Sesungguhnya,
aku juga menghendaki dua pukulan kecil di kepala sebagai ungkapan kasih
kebapakan. Perlu kutegaskan bahwa tak pernah Padre menolak untuk
memberikan apapun yang kuminta darinya. Suatu hari, ada begitu banyak
orang di sakristi dan Padre Vincenzo berteriak-teriak dengan
kegalakkannya seperti biasa, `Jangan berdesakan; jangan menjabat tangan
Padre Pio; mundur!' Dengan sedih aku berpikir, `Kali ini aku harus pergi
tanpa menerima pukulan di kepala.' Aku tak hendak menyerah, maka aku
meminta malaikat pelindungku agar sudi menjadi utusan dan menyampaikan
kata-kata berikut kepada Padre Pio, `Padre, aku mohon berkat dan dua
pukulan di kepala, seperti biasanya, satu untukku dan satu untuk
isteriku.' Padre Vincenzo masih berteriak-teriak, `Jangan mendesak Padre
Pio … menjauhlah darinya!' sementara Padre Pio mulai berjalan. Aku
berharap-harap cemas. Aku memandang padanya, tetapi aku merasa sedih.
Tiba-tiba Padre Pio menghampiriku; ia tersenyum dan mendaratkan dua
ketukan di kepala serta memberiku kesempatan untuk mencium tangannya
juga. `Aku ingin memberimu banyak sekali tempeleng… banyak tempeleng,'
kata Padre saat pertama kali aku memintanya untuk memberiku pukulan
kecil di kepala.”
Mohonlah
kepada malaikat pelindungmu agar ia menerangimu dan membimbingmu. Tuhan
memberikannya kepadamu untuk alasan ini. Sebab itu, pergunakanlah dia!

PENAMPAKAN DAN JIWA-JIWA DI API PENYUCIAN
Padre
Pio mulai mendapatkan penampakan semenjak ia masih seorang kanak-kanak.
Francesco kecil tidak menceritakannya sebab ia yakin bahwa penampakan
demikian merupakan hal yang biasa terjadi pada semua orang. Penampakan
tersebut meliputi para malaikat, para kudus, Yesus dan Bunda Maria,
tetapi, terkadang juga akan setan.
Pada
hari-hari terakhir bulan Desember 1902, sementara ia merenungkan
panggilannya, Francesco mendapatkan suatu penglihatan. Inilah cerita
yang beberapa tahun kemudian ia sampaikan kepada bapa pengakuannya.
“Francesco melihat di sampingnya seorang laki-laki agung yang elok
mempesona, bercahaya bagaikan matahari; Ia memegang tangannya dan
membesarkan hatinya dengan undangan ini: `Sungguh baik jika engkau
bersama-Ku dan bertempur bagaikan seorang ksatria.' Francesco dibimbing
ke suatu negeri yang luas, di antara khalayak ramai laki-laki yang
terbagi menjadi dua kelompok: di sisi yang satu adalah para laki-laki
dengan wajah-wajah elok, berpakaian putih bagaikan salju. Di sisi yang
lain adalah para laki-laki dengan wajah-wajah menyeramkan, berpakaian
hitam; mereka tampak bagaikan bayangan-bayangan gelap. Francesco
ditempatkan di antara kedua kelompok penonton ini dan ia melihat seorang
laki-laki yang sangat tinggi, begitu tinggi hingga ia dapat menyentuh
awan-awan dengan dahi dan wajahnya yang jelek; laki-laki itu datang
menghampirinya. Tokoh yang bercahaya mendesak Francesco untuk maju
melawan tokoh raksasa itu. Francesco berdoa agar terhindar dari amuk
tokoh aneh itu, tetapi tokoh yang bercahaya tidak menghilang,
`Penolakanmu sia-sia belaka. Sungguh baik jika engkau melawan tokoh
jahat ini. Mari, percayalah dan majulah ke medan pertempuran dengan
gagah berani. Aku akan berada di dekatmu; Aku akan menolongmu dan tak
akan membiarkannya mengalahkanmu.' Francesco menyanggupi-Nya dan sungguh
sengitlah pertarungan. Dengan pertolongan tokoh bercahaya yang
senantiasa ada di dekatnya, Francesco berhasil memenangkan pertempuran.
Tokoh raksasa itu terpaksa melarikan diri dan ia membawa bersamanya
himpunan besar khalayak dengan wajah-wajah menyeramkan itu, di antara
lolongan, kutuk dan raungan. Khalayak yang lain, para laki-laki dengan
wajah-wajah yang elok gegap gempita dengan sorak-sorai dan puji-pujian
bagi Dia yang telah menolong Francesco yang malang dalam pertarungan
sengit itu. Tokoh agung yang bercahaya, yang lebih kemilau dari
matahari, menempatkan di atas kepala Francesco yang menang, sebuah
mahkota yang amat mengagumkan hingga tak terlukiskan. Tetapi, kemudian
mahkota dilepaskan dari kepala Francesco dan tokoh yang baik itu
berkata, `Suatu mahkota lain, yang lebih indah dari ini, telah
Ku-persiapkan bagimu jika engkau bersedia bertempur dengan tokoh dengan
siapa engkau sekarang bertarung. Ia akan selalu datang kembali
menyerang; engkau akan melawannya tanpa sedikit pun meragukan
pertolongan-Ku. Jangan khawatir akan kekuatannya; Aku akan senantiasa
berada di dekatmu; Aku akan selalu menolongmu, dan engkau akan berhasil
menang.'” Penglihatan-penglihatan tersebut berlanjut dengan
pertempuran-pertempuran yang sesungguhnya dengan si Iblis. Padre Pio
berkali-kali bertempur melawan “musuh keji jiwa-jiwa” sepanjang
hidupnya. Sesungguhnya, salah satu tujuan utama Padre Pio adalah
merenggut jiwa-jiwa dari cengkeraman Iblis.
Padre
Pio menceritakan kisah berikut kepada Padre Anastasio. “Suatu sore,
kala aku seorang diri di tempat paduan suara untuk berdoa, aku mendengar
gemersik jubah dan aku melihat seorang biarawan muda sedang sibuk dekat
altar. Tampaknya biarawan muda itu sedang membersihkan kandela dan
merapikan jambangan-jambangan bunga. Aku pikir dia adalah Padre Leone
yang sedang merapikan altar, dan karena saat makan malam telah tiba, aku
menghampirinya dan mengatakan, `Padre Leone, marilah kita santap malam,
sekarang bukan saat yang tepat untuk membersihkan dan merapikan altar.'
Tetapi suatu suara, yang bukan suara Padre Leone, menjawab, `Aku bukan
Padre Leone.' `Siapakah engkau?' tanyaku. `Aku seorang saudaramu yang
menjalani novisiat di sini. Aku ditugaskan untuk membersihkan altar
sepanjang tahun novisiat. Sungguh sayang, seringkali aku tidak
menyampaikan penghormatan kepada Yesus saat aku melintas di depan altar,
dan dengan demikian tidak menghormati Sakramen Mahakudus yang disimpan
dalam tabernakel. Karena keteledoran yang serius ini, aku masih tinggal
di purgatorium. Sekarang, Tuhan, dengan kebajikan-Nya yang tak
habis-habisnya, mengirimku ke sini agar engkau dapat mempercepat saat di
mana aku dapat menikmati Firdaus. Tolonglah aku.' Aku yakin bahwa aku
bermurah hati kepada jiwa yang menderita itu ketika aku berkata, `Engkau
akan berada di Firdaus esok pagi, ketika aku merayakan Misa Kudus.'
Jiwa itu pun berteriak, `Sungguh kejam!' Lalu ia menangis dengan
sedihnya dan lenyap. Keluh-kesah itu meninggalkan suatu luka yang dalam
di hatiku yang aku rasakan dan akan terus kurasakan sepanjang hidupku.
Sesungguhnya aku dapat segera mengirimkan jiwa menderita itu ke surga,
tetapi aku menghukumnya untuk melewatkan semalam lagi dalam api
penyucian.”

MUKJIZAT
Sungguh
sulit mendefinisikan kata “mukjizat”. Mukjizat dapat dianggap sebagai
wujud dari tindakan adikodrati. Juga, dapat kita katakan bahwa mukjizat
adalah fenomena di mana hati tunduk pada kekuatan batin: kehendak Tuhan!
Kehidupan
Padre Pio penuh dengan mukjizat, tetapi kodrat dari mukjizat itu
sendiri selalu ilahi. Oleh sebab itulah, Padre Pio mengundang orang
untuk mengucap syukur kepada Tuhan, satu-satunya sumber mukjizat.
Ny
Cleonice, yang adalah anak rohani Padre Pio, mengatakan, “Dalam masa
Perang Dunia Kedua, keponakanku menjadi tawanan. Kami tidak mendengar
kabar berita mengenainya selama setahun dan semua orang yakin bahwa ia
telah tewas. Orangtuanya sangat khawatir mengenai putera mereka. Suatu
hari, ibunya menemui Padre Pio dan berlutut di hadapan sang biarawan
yang sedang duduk dalam kamar pengakuan, `Saya mohon Padre, katakanlah
apakah putera saya masih hidup. Saya tak akan pergi sebelum Padre
menjawab saya!' Padre Pio menaruh simpati padanya; tampak butir-butir
airmata menetes di wajahnya saat ia mengatakan, `Berdirilah dan pergilah
dalam damai.' Beberapa hari kemudian, tak tahan lagi melihat dukacita
kedua orangtua tersebut, maka aku memutuskan untuk meminta Padre Pio
melakukan suatu mukjizat. Dengan kepercayaan penuh, aku mengatakan,
`Padre, saya hendak menulis sepucuk surat kepada keponakan saya
Giovannino. Saya hanya akan menuliskan namanya saja pada sampul surat,
sebab kami tidak tahu di mana ia berada. Padre dan malaikat pelindungmu
akan membawa surat ini kepadanya di mana pun ia berada.' Padre Pio tidak
menjawab, maka aku menulis surat. Sore hari, sebelum tidur, aku
meletakkan surat itu di atas meja yang terletak di samping tempat tidur.
Keesokan harinya, dengan terkejut, heran bercampur takut, aku mendapati
bahwa surat itu tidak lagi ada di sana. Aku pergi untuk menyampaikan
terima kasih kepada Padre Pio dan ia mengatakan, `Berterimakasihlah
kepada Santa Perawan.' Hampir limabelas hari kemudian, keponakan kami
mengirimkan balasan surat. Maka, bergembiralah semua orang dalam
keluarga kami dan kami mengucap syukur terima kasih, baik kepada Tuhan
maupun kepada Padre Pio.”
Seorang
wanita di San Giovanni Rotondo bernama Paolina sungguh teramat baik dan
saleh hingga Padre Pio mengatakan mustahil mendapatkan dosa dalam
jiwanya untuk diampuni. Dengan kata lain, ia hidup untuk menuju surga.
Di akhir Masa Prapaskah, Paolina sakit parah. Para dokter mengatakan
bahwa tak ada lagi harapan hidup baginya. Suami dan kelima anaknya pergi
ke biara untuk berdoa bersama Padre Pio dan meminta sang biarawan untuk
melakukan sesuatu atasnya. Dua dari kelima anak itu menarik-narik jubah
Padre Pio sembari menangis, sehingga Padre Pio marah; tetapi ia
berusaha menghibur mereka dan berjanji untuk mendoakan mereka, tak lebih
dari itu! Beberapa hari kemudian, di awal jam Ketujuh, sikap Padre Pio
berubah. Sesungguhnya, Padre memohonkan kesembuhan bagi Paolina dan
mengatakan kepada semua orang, “Ia akan bangkit pada Hari Raya Paskah.”
Tetapi, pada hari Jumat Agung Paolina tak sadarkan diri dan mengalami
koma. Pada hari Sabtu, setelah beberapa jam menderita, Paolina akhirnya
meninggal dunia. Sebagian kerabatnya mengambil gaun pengantinnya untuk
dikenakan pada jenazahnya sesuai tradisi kuno negeri itu. Sebagian
kerabat lainnya lari ke biara untuk memohon Padre Pio melakukan
mukjizat. Padre hanya menjawab, “Ia akan bangkit” dan lalu berjalan
menuju altar untuk mempersembahkan Misa Kudus. Ketika Padre Pio mulai
memadahkan Gloria dan lonceng-lonceng dibunyikan guna memaklumkan
kebangkitan Kristus, suara Padre Pio menjadi parau karena isak tangis
dan kedua matanya bersimbah airmata. Pada saat yang sama, Paolina
bangkit. Tanpa pertolongan siapa pun, ia bangkit dari tempat tidur,
berlutut dan mendaraskan Aku Percaya sebanyak tiga kali. Lalu ia berdiri
dan tersenyum. Ia telah sembuh… atau lebih tepat dikatakan, “Ia telah
bangkit.” Sesungguhnya, Padre Pio tidak mengatakan bahwa “ia akan
sembuh” melainkan “ia akan bangkit.” Ketika ditanyakan kepadanya apa
yang terjadi selama masa ia meninggal dunia, wanita itu menjawab, “Aku
naik, naik, naik; dan ketika aku masuk ke dalam suatu terang yang
kemilau, aku harus kembali.”

PENYEMBUHAN
Grazia
adalah seorang gadis petani berusia duapuluh sembilan tahun; ia buta
sejak lahir. Grazia biasa pergi ke gereja kecil biara untuk menemui
Padre Pio. Suatu ketika Padre Pio bertanya kepadanya apakah ia ingin
melihat. “Tentu saja, Padre!” jawab si gadis, “tetapi aku ingin melihat
hanya jika itu memang diperuntukkan bagiku, bukan karena rasa iba.”
“Baiklah, engkau akan sembuh,” kata Padre Pio dan ia mengirim gadis itu
ke Bari, Italia di mana ada seorang dokter yang sangat cakap, yang
adalah suami dari salah seorang kawan Padre Pio. Tetapi, setelah
memeriksa mata pasiennya itu, sang dokter mengatakan kepada isterinya,
“Tak ada harapan bagi gadis ini! Padre Pio dapat menyembuhkannya hanya
dengan suatu mukjisat, tetapi aku harus mengirim gadis ini pulang tanpa
mengoperasi matanya.” Isterinya mendesak dan mengatakan kepada suaminya,
“Tetapi jika Padre Pio telah mengirimkannya kepadamu…. setidaknya
engkau dapat mencoba mengoperasi matanya, setidaknya salah satu dari
kedua matanya.” Suaminya setuju dan mengoperasi kedua mata Grazia. Dan
mata si gadis menjadi celik! Sekarang ia dapat melihat. Ketika telah
pulang kembali ke San Giovanni Rotondo, ia berlari-lari ke biara dan
berlutut di depan kaki Padre Pio. Sang biarawan menyuruhnya berdiri.
Kata gadis itu, “Berkatilah aku, Padre… berkatilah aku!” Maka, dengan
gerakan tangan Padre Pio membuat Tanda Salib atasnya, tetapi Grazia
masih terus menanti untuk diberkati. Sesungguhnya, kala ia masih buta,
Padre Pio biasa memberkatinya dengan membuat Tanda Salib dengan
tangannya di dahi sang gadis. Melihat Grazia masih terus menunggu, Padre
Pio berkata, “Jadi, bagaimanakah engkau ingin diberkati? Dengan seember
air yang disiramkan ke atas kepalamu?”
Seorang
wanita mengisahkan, “Pada tahun 1952, kandunganku normal, tetapi pada
saat melahirkan timbul masalah. Puteraku dilahirkan dengan komplikasi
dan aku membutuhkan transfusi darah. Karena darurat dan tergesa, mereka
tidak memeriksa dengan benar golongan darah yang aku butuhkan. Golongan
darahku `O' tetapi mereka memberiku darah `A'. Konsekuensinya amat
fatal: demam tinggi, kejang-kejang, penyempitan paru-paru di samping
masalah-masalah kesehatan lainnya. Seorang imam bahkan dipanggil untuk
memberiku viaticum; imam harus memberikan Hosti Kudus dengan sedikit air
sebab kondisiku sangatlah buruk. Kala kerabatku mengantarkan imam
keluar, aku tinggal seorang diri. Saat itulah Padre Pio menampakkan diri
kepadaku dengan menunjukkan stigmata di kedua tangannya. Katanya, `Aku
Padre Pio, engkau tidak akan mati! Marilah bersamaku mendaraskan Doa
Bapa Kami dan di kemudian hari engkau akan datang ke San Giovanni
Rotondo untuk menemuiku.' Dampak dari penampakan itu adalah sebagai
berikut: aku di ambang ajal beberapa menit sebelumnya dan beberapa menit
kemudian aku bangkit berdiri dan duduk. Ketika para kerabat datang
kembali ke kamarku, mereka mendapatiku sedang berdoa. Aku mengajak
mereka untuk berdoa bersamaku dan aku menceritakan penglihatan itu
kepada mereka. Kami berdoa bersama dan kesehatanku mulai pulih kembali.
Segenap dokter yakin bahwa suatu mukjizat telah terjadi. Aku pergi ke
San Giovanni Rotondo beberapa bulan kemudian guna menyampaikan terima
kasih kepada Padre Pio. Aku bertemu muka dengannya dan ia mengulurkan
tangannya agar aku dapat menciumnya. Sementara aku berterima kasih
kepadanya, tercium olehku bau harum Padre Pio yang termasyhur itu. Kata
Padre, `Engkau dianugerahi mukjizat, tetapi janganlah berterima kasih
kepadaku. Hati Yesus Yang Mahakudus yang telah mengutusku untuk
menyelamatkanmu sebab engkau berdevosi kepada Hati-Nya yang Mahakudus
dan engkau juga setia menjalankan Sembilan Jumat Pertama dalam bulan.'”

INDERA ADIKODRATI
Banyak
orang kudus dalam Gereja Katolik memiliki karisma yang memampukan
mereka mengetahui sesuatu yang jauh, atau melihat masa depan, atau
melihat serta merasakan sesuatu di tempat yang jauh dengan mempergunakan
pancaindera dan kemampuan intelektual normal mereka. Padre Pio memiliki
karisma indera adikodrati ini. Hanya dengan melihat seseorang, ia dapat
melihat ke dalam bagian-bagian jiwanya yang paling rahasia.
Seorang
wanita datang dari Inggris untuk mengakukan dosanya kepada Padre Pio.
Ia pergi ke kamar pengakuan, tetapi Padre Pio menutup jendelanya seraya
berkata, “Aku tidak dapat melayanimu.” Wanita itu tinggal beberapa
minggu lamanya dan sepanjang waktu itu, setiap hari ia kembali datang ke
kamar pengakuan dan setiap hari ia kembali ditolak. Pada akhirnya,
Padre Pio mau mendengarkan pengakuan dosanya. Wanita itu bertanya kepada
Padre Pio mengapakah Padre membuatnya menunggu begitu lama agar dapat
mengaku dosa. Padre Pio menjawab, “Dan engkau sendiri? Berapa lama
engkau telah membiarkan Tuhan kita menunggu? Seharusnyalah engkau heran
bahwa Yesus mau menyambutmu setelah engkau melakukan begitu banyak
sakrilegi. Engkau telah menunda-nunda pengakuanmu selama bertahun-tahun;
di samping itu, walau engkau berdosa terhadap suamimu dan terhadap
ibumu, engkau tetap menyambut Komuni Kudus dalam keadaan dosa berat.”
Wanita itu terperanjat dan ia sungguh menyesal. Ia menangis ketika
menerima absolusi. Ia kembali ke Inggris beberapa hari kemudian, dalam
keadaan amat bahagia.
Seorang
wanita menceritakan kisah berikut. “Pada tahun 1945, ibuku mengajakku
pergi ke St. Giovanni Rotondo guna memperkenalkanku secara pribadi
kepada Padre Pio dan agar aku mengakukan dosaku kepadanya. Ada begitu
banyak orang berada dalam antrian! Sementara menunggu giliran, aku
memikirkan apa-apa yang hendak aku akukan kepadanya; tetapi, ketika aku
berutut di hadapannya, pikiranku kosong. Padre terkasih segera
mengetahui keadaanku dan, seraya tersenyum ia berkata, `Apakah engkau
keberatan jika aku mengatakannya untukmu?' Aku menyatakan persetujuanku
dengan menganggukkan kepala, dan sebentar kemudian aku sungguh heran.
Tampaknya mustahil! Padre Pio mengatakan kepadaku, kata demi kata,
apa-apa yang hendak aku katakan kepadanya. Aku tetap tenang dan secara
batin aku menyampaikan terima kasih kepadanya sebab telah membuatku
mengalami salah satu karismanya yang luar biasa. Aku menyerahkan
kesehatan jiwa dan ragaku kepadanya. Ia menjawab, `Aku akan menjadi bapa
rohanimu untuk selamanya!' Aku meninggalkan kamar pengakuan dengan
luapan sukacita dalam hatiku. Sementara aku dalam perjalanan pulang
dalam kereta dan di sepanjang jalan, tercium olehku harum semerbak
bunga-bungaan yang tak akan pernah mungkin terlupakan olehku!

HARUM SURGAWI
Beberapa
orang kudus dianugerahi karunia yang dikenal sebagai “harum kekudusan”.
Fenomena ini disebut osmogenesia. Karunia ini memampukan orang untuk
mengenali kehadiran orang kudus tersebut melalui bau harum yang khas. St
Padre Pio dianugerahi harum tanda kesucian yang disebut harum
kekudusan, sebab itu, orang yang berada di dekatnya, dapat seringkali
mencium harumnya yang khas. Bau harum ini kerapkali terpancar dari
tubuhnya atau dari benda-benda yang disentuhnya atau dari pakaiannya.
Terkadang bau harum ini dapat tercium pada tempat-tempat yang ia lalui.
Biarawan
Modestino mengisahkan, “Suatu ketika aku melewatkan masa liburku di St.
Giovanni Rotondo. Aku pergi kepada Padre Pio di sakristi pagi itu untuk
melayani Misa Kudus, tetapi biarawan-biarawan lain telah ada di sana
saling berdebat di sakristi mengenai siapa yang boleh mendapatkan hak
istimewa ini. Padre Pio menyela perdebatan mereka dengan mengatakan -
`hanya dia yang akan melayani Misa Kudus'- dan Padre Pio menunjuk
padaku! Aku menyertai Padre Pio menuju altar St Fransiskus; aku menutup
pintu dan mulai melayani Misa Kudus dalam kekhidmadan yang luar biasa.
Ketika Misa sampai pada bagian `Sanctus' tiba-tiba aku rindu mencium
lagi bau harum tak terlukiskan yang tercium olehku saat aku mencium
tangan Padre Pio. Kerinduan itu segera terpenuhi dan seolah aku mabuk
oleh harum St Padre Pio. Keharuman itu semakin dan semakin merebak
begitu rupa hingga wewangian itu membuatku bernapas secara tak teratur.
Aku menyandarkan tanganku pada rel komuni agar aku tak jatuh! Aku nyaris
tak sadarkan diri ketika secara batin aku mohon pada Padre Pio untuk
menyelamatkanku dari rasa malu di hadapan umat. Tepat saat itu, bau
harum pun lenyap. Sore hari, sementara aku menyertai Padre Pio ke
kamarnya, aku minta penjelasan Padre Pio mengenai fenomena yang terjadi.
Jawabnya, `Anakku, aku tak dapat menjelaskannya. Adalah campur tangan
Tuhan untuk mengijinkan seseorang mencium bau harum itu kapanpun seperti
yang dikehendaki-Nya.'”
Seorang
laki-laki bertemu dengan Padre Pio melalui serangkaian peristiwa aneh
yang tak terduga. Ia bercerita, “Pertama kali aku mendengar orang
berbicara mengenai biarawan religius yang luar biasa ini adalah setelah
masa perang. Seorang temanku kenal baik dengan Padre. Ia berbicara
antusias mengenainya. Tetapi aku berkata kepada diriku sendiri bahwa
cerita-ceritanya mengenai orang kudus ini agak sedikit berlebihan. Jadi,
harus kuakui bahwa reaksi pertamaku adalah acuh dan tak percaya. Begitu
pula ketika temanku menceritakan berbagai fenomena yang terjadi melalui
Padre Pio, terutama mengenai bau harum itu. Banyak orang menyatakan
mencium aroma wewangian bahkan ketika mereka tidak berada dekat sang
biarawan yang kudus itu. Dapat kalian bayangkan betapa tercengangnya aku
ketika hal ini mulai terjadi pula padaku. Akan tercium olehku aroma
violet di tempat-tempat yang tak lazim, di mana bahkan tak didapati
tanda-tanda akan adanya bunga di sana. Aku mulai terheran-heran akan
diriku sendiri. Aku mulai meragukan inderaku. Aku bahkan mengatakan
kepada diriku sendiri bahwa pastilah aku sedang bermimpi. Suatu hari,
fenomena itu terjadi kala aku sedang berlibur bersama isteriku. Aku
pergi ke kantor pos guna mengeposkan sepucuk surat. Kantor pos tersebut
tidak biasa mempergunakan pengharum ruangan. Dan setahuku tak ada kantor
pos yang demikian. Tetapi, sekonyong-konyong, dan tak mungkin salah,
tercium olehku harum bunga violet. Mencium wangi ini, isteriku bertanya,
`Darimanakah bau harum ini berasal?' Dengan terkejut aku bertanya,
`Apakah engkau menciumnya juga?' Lalu kuceritakan kepada isteriku
mengenai Padre Pio dan mengenai aroma wangi-wangian khas yang menyertai
kehadirannya. Aroma ini dapat tercium bahkan jika orang berada jauh dari
Padre yang baik itu. Isteriku tersentuh, lalu katanya, `Jika aku adalah
engkau, sekarang juga aku akan berangkat ke San Giovanni Rotondo.'
Maka, keesokan harinya kami pun berangkat. Kami berjumpa dengan Padre
Pio dan ia berkata kepadaku, `Ah, inilah dia pahlawan kita. Betapa aku
bersusah payah memanggilmu untuk datang ke mari.' Hari itu juga, aku
beroleh kesempatan untuk berbicara secara pribadi dengan Padre Pio.
Sejak saat itu hidupku berubah.”

BILOKASI
Bilokasi
dapat didefinisikan sebagai kehadiran serentak seseorang di dua tempat
yang berbeda. Berbagai kesaksian sehubungan dengan tradisi Kristiani
melaporkan adanya peristiwa-peristiwa bilokasi berkenaan dengan para
kudus. Padre Pio dianugerahi karisma ini; banyak saksi mata melihatnya
berada di tempat-tempat yang berbeda pada waktu yang bersamaan. Berikut
adalah beberapa di antaranya:
Padre
Alberto, yang bertemu dengan Padre Pio pada tahun 1917, menceritakan,
“Aku melihat Padre Pio berdiri di depan jendela, memandang ke arah
pegunungan. Ia sedang berbicara sendiri. Aku menghampirinya guna mencium
tangannya, tetapi ia tidak menyadari kehadiranku dan aku melihat bahwa
tangannya menegang. Pada saat itu, aku mendengar dengan jelas ia sedang
memberikan absolusi dan pengampunan kepada seseorang. Sejenak kemudian,
Padre Pio terguncang seolah baru saja terbangun dari tidur. Ia melihatku
dan berkata, `Engkau di sini. Aku tidak menyadarinya!' Beberapa hari
kemudian, datang sebuah telegram dari Turin. Seseorang menyampaikan
ucapan terima kasih kepada superior biara karena telah mengutus Padre
Pio ke Turin guna melayani seseorang yang sedang menghadapi ajal. Aku
mengerti bahwa orang itu sedang menghadapi maut pada saat Padre Pio
memberkatinya di San Giovanni Rotondo. Sudah pasti, superior biara tidak
mengutus Padre Pio ke Turin, tetapi ia bilokasi ke sana.”
Pada
tahun 1946, sebuah keluarga Amerika pergi dari Philadelphia ke Saint
Giovanni Rotondo guna menyampaikan terima kasih kepada Padre Pio. Putera
mereka, seorang pilot pesawat pembom (semasa Perang Dunia II), telah
diselamatkan nyawanya oleh Padre Pio di udara di atas Samudera Pasifik.
Sang putera mengisahkan, “Pesawat sedang terbang dekat lapangan udara di
suatu pulau di mana pesawat hendak mendarat setelah dimuati bom.
Tetapi, tiba-tiba pesawat diserang oleh sebuah pesawat tempur Jepang.
Pesawat meledak sebelum seluruh awak pesawat sempat terjun dengan
parasut. Hanya aku yang berhasil keluar dari pesawat. Aku tak tahu
bagaimana aku berhasil melakukannya. Aku berusaha membuka parasut,
tetapi gagal. Pastilah aku jatuh hancur berkeping-keping ke tanah jika
aku tak mendapatkan pertolongan dari seorang biarawan yang
sekonyong-konyong muncul di udara. Jenggotnya putih. Ia menggendongku
dengan kedua tangannya dan membaringkanku dengan lembut di pintu masuk
pangkalan. Dapat kalian bayangkan betapa orang tercengang mendengar
ceritaku. Tak seorang pun percaya, tetapi, melihat keberadaanku di sana,
mereka tak dapat berkata apa-apa. Beberapa hari kemudian barulah aku
mengetahui siapa biarawan yang telah menyelamatkan hidupku, yaitu saat
aku cuti dan pulang ke rumah. Aku melihat gambar biarawan itu di salah
satu pigura ibuku. Ibu mengatakan bahwa ia telah meminta Padre Pio untuk
menjagaku.”

LEVITASI
Levitasi
dapat didefinisikan sebagai fenomena di mana orang terangkat dari tanah
dan tinggal melayang di udara. Fenomena yang demikian jelas merupakan
suatu karunia yang diberikan Tuhan kepada para Mistikus Gereja Katolik. St Yosef dari Cupertino, misalnya, termashyur karena fenomena levitasinya. Juga Padre Pio dari Pietrelcina dianugerahi karunia yang demikian.
Di
Bari, Italia, dalam masa Perang Dunia Kedua, terdapat Markas Besar
Angkatan Udara Amerika. Menurut kabar, banyak perwira yang diselamatkan
nyawanya oleh Padre Pio selama masa perang. Bahkan sang Jenderal menjadi
saksi atas suatu kisah yang menakjubkan. Jenderal memimpin satu
skwadron pembom untuk menghancurkan gudang perlengkapan perang Jerman
yang terletak di St. Giovanni Rotondo. Jenderal itu menceritakan bahwa
ketika pesawat-pesawat pembom telah mendekati target, para perwira dan
juga ia sendiri melihat di langit seorang biarawan dengan kedua tangan
terangkat. Bom-bom berjatuhan dengan sendirinya ke dalam hutan.
Kemudian, pesawat-pesawat berputar haluan tanpa dikendalikan pilot
ataupun para perwira lainnya. Semua terheran-heran, siapakah gerangan
biarawan itu sehingga pesawat-pesawat tempur taat kepadanya. Seseorang
memberitahukan kepada Jenderal, “Di San Giovanni Rotondo, ada seorang
biarawan yang melakukan banyak mukjizat.” Jenderal memutuskan bahwa
suatu saat ia harus pergi melihat apakah biarawan yang dimaksud adalah
orang yang sama dengan yang ia lihat melayang-layang di udara. Setelah
perang usai, sang Jenderal mendatangi biara Kapusin bersama beberapa
pilot. Begitu memasuki biara, ia melihat ada banyak sekali biarawan di
sana; seorang di antara mereka segera dikenalinya sebagai biarawan yang
telah menghentikan pesawat-pesawat tempur; dia adalah Padre Pio. Padre
menghampiri Jenderal seraya berkata, “Engkaukah itu yang hendak membunuh
kami semua?” Tergerak oleh tatapan mata dan kata-kata Padre Pio, sang
Jenderal berlutut di hadapan Padre. Seperti biasa, Padre Pio berbicara
kepadanya dalam dialek setempat, tetapi Jenderal yakin bahwa biarawan
itu berbicara kepadanya dalam bahasa Inggris! Ini merupakan karunia
Padre Pio yang lain. Mereka berdua menjadi sahabat, dan sang Jenderal,
yang beragama Protestan, akhirnya menjadi seorang Katolik.
Padre
Ascanio mengisahkan, “Kami sedang menanti Padre Pio yang akan datang
untuk melayani Sakramen Pengakuan. Gereja penuh sesak dan setiap orang
mengarahkan pandangannya pada pintu yang akan dilalui Padre Pio. Pintu
itu tetap tertutup, tetapi sekonyong-konyong aku melihat Padre Pio
berjalan di atas kepala orang banyak hingga tiba di kamar pengakuan dan
lalu menghilang. Beberapa menit kemudian Padre sudah mulai menerima
peniten. Aku tak mengatakan apa-apa; aku pikir pastilah aku sedang
bermimpi, tetapi, kala aku berjumpa dengannya aku bertanya, `Padre Pio,
bagaimana Padre dapat berjalan di atas kepala orang banyak?' Dengan
bergurau ia menjawab, `Yakinlah anakku, sama halnya seperti berjalan di
atas lantai…'”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar