Profil:

Kardinal Ignatius Kung Pin-Mei

![]() | ![]() |

“Saya seorang Uskup Katolik Roma. Jika saya menyangkal Bapa Suci, tidak saja saya bukan lagi seorang Uskup, melainkan saya bahkan bukan lagi seorang Katolik. Kalian dapat menebas kepala saya, tetapi kalian tidak akan pernah dapat merampas tugas tanggung jawab saya.”

~ Kardinal Kung








Ignatius Kung (Gong) Pin-Mei dilahirkan pada tanggal 2 Agustus 1901 di Pudong, daerah pinggiran timur kota Shanghai, dalam sebuah keluarga yang telah turun-temurun memeluk agama Katolik. Ignatius adalah yang sulung dari empat bersaudara. “Hingga usia 12 tahun, kami - kedua saudara, seorang saudari dan saya - mendapatkan pendidikan di rumah dari bibi kami, Bibi Martha - seorang biarawati `yang tinggal di rumah' - dalam pelajaran-pelajaran Cina Klasik dan doktrin Katolik. Pada masa itu, ada perempuan-perempuan yang tinggal di rumah, mengucapkan kaul selibat, dan membaktikan diri dalam karya-karya kerasulan. Bibi Martha berperan sangat penting dalam menanamkan benih panggilan dalam diri saya,” kenang Kardinal Kung, suatu kerinduan hati yang dipeluknya erat-erat sementara ia melanjutkan pendidikan hingga lulus dari SMA St Ignatius di Shanghai.
Selepas SMA, dalam usia 19 tahun, Ignatius melanjutkan pendidikannya di seminari keuskupan hingga akhirnya ditahbiskan menjadi imam pada tanggal 28 Mei 1930. P Ignatius ditugaskan sebagai kepala sekolah dasar, kemudian sekolah menengah atas keuskupan selama tiga tahun. “Saya cukup lama berkecimpung dalam dunia pendidikan,” kenang Bapa Kardinal, “Saya mengajar bahasa Latin. Saya juga ditunjuk sebagai kepala sekolah dari dua sekolah menengah atas milik Yesuit di Shanghai: SMA Aurora dan SMA Gonzaga.”
Partai Komunis mengambil alih kekuasaan di Cina pada tahun 1949; ateisme merajalela dengan cepat. Banyak imam di Cina utara ditangkap. Sebagian besar uskup, imam dan para biarawan, biarawati asing diusir keluar dari Cina. Dapat kita bayangkan situasi yang terjadi di Cina pada waktu itu. Dalam pandangan manusia, masa depan Gereja di Cina sungguh suram serta mengerikan. Dalam keadaan demikianlah, pada Pesta SP Maria Ratu Rosario, 7 Oktober 1949, P Ignatius Kung ditahbiskan sebagai uskup pertama bagi Keuskupan baru Soochow. Sesungguhnya beberapa orang telah dicalonkan untuk jabatan tersebut, tetapi mereka menolak. Mereka paham benar bahaya menjadi seorang uskup di bawah pemerintahan komunis. Sebaliknya, Uskup Kung, dengan berkat dan pertolongan Ilahi, dengan senang hati menerima jabatan episkopat tersebut sebagai bagian dari hidupnya dan sebagai bagian dari perutusannya.
Pada tanggal 15 Juli 1950, Paus Pius XII menunjuk Uskup Kung sebagai Uskup Shanghai; ia menjadi uskup pribumi pertama di Keuskupan Shanghai. Tahta Suci juga menetapkan Uskup Kung sekaligus sebagai Administrator Apostolik Soochow dan Nanking. “Shanghai adalah salah satu kota perdagangan dan industri terbesar di Cina; Nanking (Nanjing) adalah ibukota Cina sebelum pemerintahan komunis memindahkan ibukota ke Beijing; sementara Soochow adalah kota yang terkenal karena keindahan alamnya,” jelas Bapa Kardinal. Dengan demikian, Uskup Kung menjadi uskup dari tiga kota terpenting di Cina pada masa paling kritis sejarah Gereja Katolik di Cina; jabatan yang diembannya dengan setia hingga akhir hayat.
Dengan berkuasanya komunis, Gereja Katolik memulai sejarah panjang yang gagah berani, penuh warna-warni penderitaan dan kemartiran. Sejak dari awal, pemerintah komunis bermaksud melenyapkan agama. Mereka menganggap agama sebagai candu masyarakat. Secara sistematis dan terus-menerus, komunis menyerang Gereja Katolik dengan mengenakan pajak yang berat kepada Gereja, melarang pengajaran agama di sekolah-sekolah dan membatasi bahkan melarang kegiatan-kegiatan keagamaan. Para uskup, imam, biarawan dan biarawati, juga kaum awam ditangkap dan dipenjarakan. Pemerintah berharap bahwa dengan memenjarakan para tokoh umat, merampas harta Gereja, dan mengucilkan Gereja Katolik di Cina dengan Gereja Katolik Semesta, maka Gereja Katolik di Cina akhirnya akan takluk. Tetapi, yang terjadi malahan sebaliknya; para klerus dan umat beriman siap memanggul salib mereka ke Kalvari, mengikuti teladan para imam dan biarawan biarawati; mereka lebih suka dipenjarakan daripada mengingkari iman mereka. Sementara yang lainnya, dengan gagah berani memikul tanggung jawab serta bahu-membahu dalam banyak karya-karya keuskupan. Ketika gagal membasmi Gereja Katolik, pemerintah membentuk Asosiasi Patriotik untuk menggantikan Gereja Katolik Roma. Mereka yang menolak bergabung dengan Asosiasi Patriotik dijebloskan ke dalam penjara.
Apa sebenarnya perbedaan antara Gereja Katolik Roma dan Gereja Patriotik? Dalam sebuah wawancara pada tahun 1993, Kardinal Kung menjelaskan sebagai berikut, “Nama resmi dari Asosiasi Patriotik adalah Asosiasi Patriotik Katolik Cina, dibentuk oleh pemerintah komunis Cina pada awal 1950 di bawah kendali Biro Agama pemerintah. Gereja Patriotik menolak otoritas Paus sebagai pemimpin Gereja Katolik [dan pada tahun 1951 bahkan memutuskan hubungan diplomatik dengan Vatican]. Gereja Patriotik menunjuk serta menahbiskan para uskupnya sendiri tanpa persetujuan paus. Gereja Patriotik merupakan skismatik dan tidak dalam persatuan dengan Gereja Katolik Roma universal. Pemerintah Cina menyita seluruh kekayaan Gereja Katolik Roma di Cina dan mengalihkannya kepada Asosiasi Patriotik, tanpa meninggalkan sepeser pun bagi Gereja Katolik Roma.
Gereja Katolik Roma di Cina merupakan bagian dari Gereja Katolik Roma universal dalam persatuan dengan Paus, penerus St Petrus. Gereja Katolik Cina secara teguh dan tak tergoyahkan mengakui Bapa Suci sebagai pemimpin Gereja. Gereja Katolik dinyatakan illegal di Cina dan merupakan Gereja bawah tanah sejak dibentuknya Asosiasi Patriotik. Gereja Katolik Roma telah mengalami penganiayaan selama empatpuluh tahun dan penganiayaan ini masih berlangsung hingga sekarang.
Perbedaan-perbedaan di atas sungguh amat penting. Yesus mendirikan Gereja di atas batu karang St Petrus. Siapa pun yang mengaku diri sebagai bagian dari Gereja Katolik Roma universal, namun tidak mengakui paus sebagai pemimpin tertinggi Gereja, sesungguhnya bukan merupakan bagian dari Gereja Katolik Roma. Tepat dengan dasar inilah saya lebih memilih dipenjarakan daripada menggabungkan diri dengan Asosiasi Patriotik dan memutuskan ikatan saya dengan Tahta Suci.”
Sejak ditahbiskan sebagai imam, Uskup Kung senantiasa menempatkan pewartaan Sabda sebagai prioritas utama, entah semasa ia bekerja di paroki ataupun di sekolah. Umat dan murid-muridnya masih ingat dengan jelas semangat Uskup dalam mewartakan Sabda Allah. Dengan pewartaan dan pelayanannya, Uskup Kung menanamkan dasar iman yang kuat pada umat. Kenyataan bahwa begitu banyak umat beriman tetap setia pada imannya pada saat Gereja mengalami penganiayaan yang hebat adalah karena, pertama-tama rahmat Tuhan, dan kedua karena pewartaan dan kepemimpinan Uskup Kung.
“Wahai, saudara-saudaraku umat beriman Katolik! Peliharalah nyala api imanmu untuk selama-lamanya! Untuk selama-lamanya peliharalah hak terhormat dan hak istimewa diangkat menjadi anak-anak Allah. Jangan pernah mengkhianati Gereja-mu. Melainkan, peliharalah dan belalah dia dengan segenap daya upayamu.”
“Suatu ketika, kala Paus Pius XII menerima sekelompok seminaris dalam suatu audisi, ia bertanya kepada mereka ada berapa tanda istimewa yang menjadi ciri khas Gereja Allah yang sejati. Tanpa berpikir panjang, mereka menjawab, `Satu, kudus, katolik dan apostolik.' Paus menjawab, `masih ada tanda yang kelima.' Tetapi para seminaris tidak tahu tanda apakah itu. Maka, kata Paus, `Penganiayaan.' Jadi, jika Gereja menikmati damai sejahtera sepanjang waktu tanpa mengalami penganiayaan, akan merupakan suatu hal yang sangat aneh. Justru hal itu merupakan suatu alasan bagi kita untuk was-was serta memeriksa diri kalau-kalau ada sesuatu yang tidak beres. Adakah kita tidak hidup sebagai para murid Kristus yang setia? Karena penganiayaan akan selalu ada, penganiayaan merupakan suatu tanda khas Gereja, dan hendaknyalah kita tidak berusaha untuk mengadakan kompromi atau persekongkolan guna segera mengakhiri penganiayaan itu. Kita sendiri tidak mungkin berinisiatif untuk menciptakan atau menimbulkan penganiayaan. Tetapi apabila penganiayaan itu menimpa diri kita suatu hari nanti, hendaknya kita bukan hanya sekedar menerimanya dengan rela dari tangan Allah, melainkan hendaknya kita bersukacita dan bergembira. Seperti kesaksian dalam Kisah Para Rasul, `Mereka memanggil rasul-rasul itu, lalu menyesah mereka dan melarang mereka mengajar dalam nama Yesus. Sesudah itu mereka dilepaskan. Rasul-rasul itu meninggalkan sidang Mahkamah Agama dengan gembira, karena mereka telah dianggap layak menderita penghinaan oleh karena Nama Yesus' (Kis 5:40-41).'”
Uskup Kung juga melawan Asosiasi Patriotik dengan menggerakkan Legio Maria. Tahun 1952 dimaklumkannya sebagai Tahun Santa Perawan Maria di Shanghai. Sepanjang tahun itu didaraskan rosario terus-menerus selama 24 jam sehari di hadapan patung SP Maria dari Fatima, yang dibawa berkeliling ke seluruh paroki di Shanghai, hingga akhirnya tiba di Gereja Kristus Raja, di mana sebulan sebelumnya dilakukan penangkapan besar-besaran atas para imam Katolik. Uskup Kung memimpin doa rosario, sementara ratusan polisi bersenjata mengawasi. Di akhir ibadat, Uskup Kung berdoa, “Bunda Tersuci, kami tak hendak memohon mukjizat darimu. Kami juga tak hendak memohon padamu agar penganiayaan ini segera berakhir. Tetapi kami mohon, ya Bunda, topanglah kami yang amat lemah ini.”
Komunis memaklumkan Legio Maria sebagai gerakan illegal yang berhubungan dengan spionase di bawah kedok agama, sebab itu segenap anggota Legio Maria diwajibkan mendaftarkan diri di Kantor Keamanan Masyarakat dan mengakui Legio Maria sebagai gerakan anti-revolusi, atau mereka akan dijebloskan ke dalam penjara. Uskup Kung menyemangati serta mendorong umatnya agar tidak tunduk pada komunis, bahwa Tuhan akan mengganjari mereka, dan bahwa mereka hendaknya, dalam situasi apapun, mempertahankan iman mereka. Karena kepercayaan mereka kepada Tuhan, kepada Gereja, dan kepada Bapa Uskup, sembilanpuluh sembilan persen anggota Legio Maria menolak untuk mendaftarkan diri. Beratus-ratus anggotanya, termasuk anak-anak sekolah, ditangkap dan dijatuhi hukuman kerja paksa selama 10 tahun, 15 tahun, 20 tahun, dan bahkan lebih.
Dalam ucapan Tahun baru 1953 kepada Bapa Uskup, para murid Shanghai dan para anggota Legio Maria menyampaikan ini, “Uskup Kung, dalam kegelapan engkau menerangi jalan kami. Engkau membimbing kami di jalan yang sarat mara bahaya. Engkau menopang iman kami dan setia memelihara tradisi Gereja. Engkau adalah batu karang Gereja kami di Shanghai.”
Dalam tahun itu juga, Uskup Kung mempersiapkan Ibadat Sore istimewa kepada Hati Yesus Yang Mahakudus bagi para pemuda Katolik di Shanghai. Tetapi, empat hari sebelum acara, pemerintah komunis mengambil alih rumah Yesuit di Shanghai serta menangkap banyak imam. Uskup Kung tetap menyelenggarakan ibadat sorenya. Lebih dari 3000 pemuda berkumpul sementara polisi mengepung katedral. Ribuan perempuan duduk di lapangan di luar katedral mendaraskan rosario. Seakan lupa akan kepungan polisi, umat riuh rendah berteriak, “Hidup Bapa Uskup! Hidup Bapa Suci! Hidup Gereja!” Setelah devosi usai, para utusan dari berbagai paroki pulang dengan memanggul salib masing-masing di belakang Uskup Kung. Umat Katolik Cina secara terang-terangan menunjukkan kerelaan hati mereka berjalan mengikuti Uskup mereka sepanjang jalan ke Kalvari. Seperti dikatakan para pemuda Katolik Shanghai ini, “Kami merasa sungguh terhormat dilahirkan dan hidup di masa yang sungguh penting ini, boleh menjadi saksi Kristus.”
Uskup Kung menyadari bahwa keadaan akan bertambah buruk dan bahwa kebebasannya akan segera berakhir. Maka, ia mulai mempersiapkan para imam dalam keuskupannya untuk menghadapi perjuangan dan penganiayaan yang telah di ambang pintu. Dalam suatu retret untuk para imam, Uskup mengatakan, “Janganlah bermimpi mengenai masa depanmu. Kamu akan ditangkap. Kamu akan dimartir. Yesus mempersiapkan ini semua untukmu sebab Ia sangat mengasihi kamu. Apakah yang harus kamu takutkan? Jika kamu mati untuk Kristus, kamu akan dibangkitkan.”
Merasa bahwa para imamnya akan segera ditangkap juga, Uskup Kung mempersiapkan serta melatih beratus-ratus katekis untuk mewariskan iman Katolik Roma bagi generasi mendatang. Daya juang serta kegigihan para katekis ini, kemartiran mereka, juga kemartiran banyak klerus dan umat beriman lainnya membuahkan semangat iman yang berkobar bagi Gereja Katolik Roma di Cina hingga sekarang ini.
Pada tahun 1955, menjelang ditangkap, dalam suatu salam perpisahan kepada ibunya, Uskup Kung menghibur ibunya yang bersimbah airmata, “Ibu, janganlah menangis; tentulah Ibu akan sangat bangga apabila putramu ini dapat menjadi seorang tawanan bagi Kristus.”
Dalam waktu yang relatif singkat, lima tahun, Keuskupan Shanghai berkembang pesat serta penuh daya hidup di bawah kepemimpinan Uskup Kung. Ia seorang yang tegas sekaligus lemah lembut dan penuh perhatian. Ia memberikan segala yang ada padanya demi kemuliaan Tuhan dan keselamatan jiwa-jiwa. Seluruh umat dalam keuskupan bersatu dalam kasih persaudaraan. Keuskupan Shanghai menjadi model bagi seluruh keuskupan lainnya di Cina. Uskup Kung semakin dikenal dan disegani di seluruh Cina.
Saat itulah tampaknya musuh merasa bahwa sesuatu harus dilakukan terhadap Uskup Kung ini. Malam hari, pada tanggal 8 September 1955, Uskup Kung bersama lebih dari 200 imam dan tokoh awam ditangkap. Keesokan harinya, ribuan orang meneteskan airmata saat mereka membaca judul berita utama di halaman depan Harian Rakyat:
“Kontra-revolusioner Ignatius Kung Ditangkap....”
Beberapa bulan setelah penangkapannya, ia dibawa keluar ke hadapan massa di gelanggang Balap Anjing di Shanghai. Ribuan orang diperintahkan untuk hadir mendengarkan pengakuan Uskup di hadapan publik atas “kejahatan-kejahatannya”. Dengan kedua tangan terikat di belakang punggung, mengenakan setelan piyama penjara Cina, Uskup didorong maju ke depan mikrofon untuk mengaku. Keheningan yang senyap segera meliputi khalayak ramai, yang menanti dengan harap-harap cemas. Sekonyong-konyong para parajurit dikejutkan oleh seruan lantang Uskup, “Hidup Kristus Raja! Hidup Paus!” yang segera disambut massa, “Hidup Kristus Raja! Hidup Uskup Kung!” Bapa Uskup segera diseret ke mobil polisi dan menghilang dari dunia hingga ia dibawa ke hadapan pengadilan pada tahun 1960.
“Saya dijatuhi hukuman seumur hidup dengan dakwaan `pengkhianatan'. Pengkhianatan ini berupa penolakan saya untuk menyangkal Bapa Suci, penolakan saya untuk memutuskan hubungan antara keuskupan saya dengan Bapa Suci, dan penolakan saya untuk memimpin Asosiasi Patriotik Katolik Cina yang akan sepenuhnya berada di bawah kendali pemerintahan komunis,” kenang Kardinal Kung.
Malam sebelum dihadapkan ke pengadilan, mereka meminta Uskup untuk menyangkal Bapa Suci dan untuk bekerjasama memimpin Asosiasi Patriotik. Mereka membujuk bahwa tidaklah perlu Uskup berbicara; satu anggukan kepala saja akan segera membebaskannya dari penjara. Uskup Kung menjawab, “Saya seorang Uskup Katolik Roma. Jika saya menyangkal Bapa Suci, tidak saja saya bukan lagi seorang Uskup, melainkan saya bahkan bukan lagi seorang Katolik. Kalian dapat menebas kepala saya, tetapi kalian tidak akan pernah dapat merampas tugas tanggung jawab saya.”
Sebagai ganjaran atas keteguhan hatinya, Uskup Kung dikurung di balik terali besi selama tigapuluh tahun. Sebagian besar dari masa itu dilewatkannya dalam bilik penjara yang paling terisolir. Ia tidak diperkenankan menerima tamu, termasuk kunjungan sanak keluarga, surat, uang untuk membeli kebutuhan-kebutuhan pokok, yang adalah hak para tahanan lainnya.
Di kemudian hari, seorang seminaris dari Keuskupan Bridgeport yang akan segera ditahbiskan datang untuk mohon berkat Kardinal Kung. Ia bertanya kepada Kardinal bagaimana menjadi seorang imam yang setia. Jawaban Kardinal singkat saja, “Senantiasa melakukan kehendak Tuhan.” Ketika sang seminaris bertanya bagaimana Kardinal bisa bertahan selama lebih dari 30 tahun dalam penjara tanpa buku-buku doa, Kitab Suci, Misa Kudus, ataupun rosario, Kardinal menjawab bahwa komunis tidak akan pernah dapat mengambil rosarionya. Terheran-heran, sang seminaris bertanya, “Bagaimana Bapa Kardinal dapat menyembunyikan rosario, sementara terus-menerus dilakukan pemeriksaan yang ketat dalam penjara?” Kardinal menunjukkan kesepuluh jari-jemari tangannya seraya berkata, “Ave Maria. Rosariomu akan selalu ada bersamamu; dan engkau tidak akan pernah tanpa pertolongan Bunda Tersuci.” “Melakukan kehendak Tuhan” dan “Berdoa Rosasio” memberinya kekuatan selama 32 ½ tahun yang nyaris tak terbayangkan itu. Kardinal menasehatkan bahwa tindakan orang hendaknya mengungkapkan secara penuh apa yang ada dalam hatinya.
Sumber : “The Cardinal Kung Foundation”; www.cardinalkungfoundation.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar